Sabtu, 06 Desember 2014

DESAIN INTRUKSIONAL Aplikasi Model Pengembangan Pelatihan Bertenun Ulos

DESAIN INTRUKSIONAL "Aplikasi Model Pengembangan Pelatihan Bertenun Ulos"


BAB I
PENDAHULUAN

Pengembangan instruksional adalah cara yang sistematis dalam mengidentifikasi, mengembangkan, dan mengevaluasi seperangkat materi dan strategi yang diarahkan untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.Hasil akhir dari pengembangan instruksional ialah suatu sistem instruksional, yaitu materi dan strategi belajar mengajar yang dikembangkan secara empiris dan konsisten telah dapat mencapai tujuan instruksional tertentu.
Pengembangan instruksional ini terdiri dari seperangkat kegiatan yang meliputi perencanaan, pengembangan, dan evaluasi terhadap sistem instruksional yang sedang dikembangkan tersebut sehingga, setelah mengalami beberapa kali revisi, sistem instruksional tersebut dapat memuaskan hati pengembangnya.
Pengembangan instruksional adalah teknik pengelolaan dalam mencari pemecahan masalah-masalah instruksional atau, setidak-tidaknya, dalam mengoptimalkan pemanfaatan sumber belajar yang ada untuk memperbaiki pendidikan.
Desain Instruksional sebuah upaya untuk meningkatkan hasil belajar dengan menggunakan pendekatan sistem Instruksional. Pendekatan sistem dalam Instruksional lebih produktif untuk semua tujuan Instruksional di mana setiap komponen bekerja dan berfungsi untuk mencapai tujuan Instruksional. Komponen seperti instruktur, peserta didik, materi, kegiatan Instruksional, sistem penyajian materi, dan kinerja lingkungan belajar saling berinteraksi dan bekerja sama untuk mewujudkan hasil Instruksional pebelajar yang dikehendaki.
Sistem  Instruksional yang siap pakai adalah hasil yang diinginkan dalam hal mendesaian sistem intruksional. Dalam mencapai sistem intruksional yang siap pakai tidaklah semudah menentukan tujuan perjalanan. Kita mengetahui bahwa pendidikan itu mempunyai tujuan yang pasti, hanya tidak semua orang dapat merumuskan dengan jelas tujuan apa yang ingin dicapainya dengan pendidikan yang direalisasikannya.
         Tujuan adalah keterampilan, pengetahuan, dan sikap yang diperoleh untuk memenuhi kebutuhan yang telah diidentifikasi. Tujuan berfokus pada apa yang dapat dilakukan sibelajar ketika usai pelajaran. Tujuan instruksional idealnya diperoleh dari proses pengkajian / penelususan kebutuhan (Need Assessment) yang menetapkan secara luas indikasi-indikasi permasalahan yang harus dipecahkan. (Dick and Carey, 2005).
         Untuk memperoleh gambaran yang lebih jelas tentang apa yang dicapai dilakukan dengan cara analisis. Dan seperti yang kita ketahui bahwa dalam  mendesain sistem instruksional dibutuhkan langkah-langkah seperti berikut:
1. Menentukan kebutuhan instruksional dan menentukan tujuan instruksional umum
2. Melakukan analisis instruksional
3. Mengidentifikasikasi perilaku dan karakteristik awal mahasiswa
4. Menentukan tujuan instruksional khusus.
5. Menulis tes acuan patokan
6. Menyusun strategi instruksional
7. Mengembangkan bahan instruksional
8. Mendesain dan melaksanakan evaluasi formatif
9. Mendapatkan sistem instruksional
         Pada kesempatan ini penulis akan mendesain suatu pembelajaran tentang bertenun ulos. Penulis tertarik karena bertenun ulos merupakan salah satu dunia usaha yang cukup menjanjikan. Pelatihan ini diadakan di Buhit, Kecamatan Pangururan, Kabupaten Samosir
BAB II
KERANGKA TEORI

Model adalah sesuatu yang menggambarkan adanya pola berpikir. Sebuah model biasanya menggambarkan keseluruhan konsep yang saling berkaitan. Dengan kata lain model juga dapat dipandang sebagai upaya dan untuk mengkonkretkan sebuah teori sekaligus juga merupakan sebuah analogi dan representasi dari variable-variabel yang terdapat di dalam teori tersebut. Sedangkan menurut Robins, “A model is an abstraction of reality; a simplified representation of some real-world phenomenon. Maksud dari definisi tersebut, model merupakan representasi dari beberapa fenomena yang ada di dunia nyata.
Definisi model juga diungkapkan oleh Miarso yaitu model adalah representasi suatu proses dalam bentuk grafis dan/atau naratif, dengan menunjukkan unsur-unsur utama serta strukturnya. Dalam hal ini dimungkinkan penafsiran model naratif ke dalam bentuk grafis, atau sebalikny. Jadi dari definisi-definisi tersebut dapat di simpulkan bahwa model merupakan suatu proses pola pikir dan komponen-komponen yang terdapat di dalamnya, yang direpresentasikan dalam bentuk grafis dan/atau naratif.
Dalam desain sistem pembelajaran, model biasanya menggambarkan langkah-langkah atau prosedur yang perlu ditempuh untuk menciptakan aktivitas pembelajaran yang efektif, efisien, dan menarik. Jadi suatu model dalam pengembangan pembelajaran  adalah suatu proses yang sistematik dalam desain, konstruksi, pemanfaatan, pengelolaan, dan evaluasi sistem pembelajaran.
Berdasarkan pada pengertian pengembangan pembelajaran, maka diperlukan sekurang-kurangnya lima kriteria yang harus dipenuhi dalam model pembelajaran yaitu: 1) mempunyai tujuan; 2) keserasian dengan tujuan; 3) sistematik; 4) mempunyai kegiatan evaluasi; dan 5) menyenangkan. Oleh karena itu, sistem pembelajaran dapat diibaratkan sebagai proses produksi yang terdiri dari bagian input-proses-output, yang saling terintegrasi.
Salah satu model pengembangan pembelajaran adalah Model Pengembangan Instruksional (MPI) yang dikembangkan oleh Atwi Suparman (2004, memberikan pedoman untuk mengembangkan pembelajaran, seperti dapat dilihat pada Gambar 2.1.




Gambar. Model Pengembangan Instuksional (Atwi Suparman, 2004)




Secara umum MPI menurut Atwi Suparman terdiri dari tiga tahap yaitu tahap mengidentifikasi, tahap mengembangkan, dan tahap mengevaluasi dan merevisi. Adapun tahap-tahap tersebut adalah sebagai berikut:

Tahap Mengidentifikasi 1. Mengidentifikasi kebutuhan instruksional dan menulis tujuan instruksional umum
2. Melakukan analisis instruksional
3. Mengidentifikas perilaku dan karakteristik siswa  
Tahap Mengembangkan 1. Menulis tujuan instruksional khusus
2. Menulis tes acuan patokan
3. Menyusun strategi instruksional
4. Mengembangkan bahan instruksional  
Tahap Mengevaluasi dan Merevisi 1. Mendesain dan melaksanakan evaluasi formatif yang termasuk di dalamnya kegiatan merevisi
Pendekatan MPI dipilih karena pendekatan ini dapat diterapkan baik pada pendidikan formal di sekolah atau perguruan tinggi, maupun pendidikan non formal dan juga model ini cocok untuk mengembangkan pembelajaran virtual pada pelajaran matematika  melalui teori dan praktek secara langsung.

A. MENGIDENTIFIKASI KEBUTUHAN INSTRUKSIONAL DAN MENULIS TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM
Tahap awal model ini adalah menentukan apa yang diinginkan agar pebelajar dapat melakukannya ketika mereka telah menyelesaikan program Instruksional. Tahapan dalam mengidentifikasi kebutuhan merupakan titik tolak sekaligus dasar bagi langkah-langkah berikutnya, agar seluruh kegiatan instruksional tidak kehilangan arah.

1.     Pengertian Kebutuhan Instruksional
Kebutuhan adalah kesenjangan keadaan saat ini dibandingkan dengan keadaan yang diharapkan atau seharusnya. Setiap keadaan yang kurang dari yang seharusnya menunjukkan adanya kebutuhan. Apabila kesenjangan itu besar atau dikhawatirkan dapat menimbulkan akibat yang signifikan maka perlu untuk segera diatasi. Kebutuhan ini disebut masalah. (Atwi Suparman, 2012: 118-119). Hal ini diperkuat dengan pernyataan Morrison, Ross, dan Kemp bahwa kebutuhan pembelajaran digunakan untuk mengidentifikasi kesenjangan dalam penyelenggaraan kemudian memutuskan kesenjangan tersebut melalui intervensi. (Morrison, Ross, dan Kemp, 2007:32). Kebutuhan adalah segala sesuatu yang diperlukan oleh manusia untuk kehidupannya, demi mencapai suatu hasil (tujuan) yang lebih baik. Belajar adalah suatu proses perubahan kearah yang lebih baik, yang mengubah seseorang yang tidak tahu menjadi tahu, yang tidak baik menjadi baik, yang tidak pantas menjadi pantas, dll. Kebutuhan belajar pada dasarnya menggambarkan jarak antara tujuan belajar yang diinginkan dan kondisi yang sebenarnya.
Jadi pengertian Identifikasi kebutuhan belajar adalah kegiatan atau usaha yang dilakukan untuk meneliti dan menemukan hal-hal yang diperlukan dalam belajar dan hal-hal yang dapat membantu tercapainya tujuan belajar itu sendiri, baik itu proses belajar yang berlangsung di lingkungan keluarga (informal), sekolah (formal), maupun masyarakat (non-formal).(Twelker, 1972)
Kebutuhan juga dapat diartikan sebagai kecenderungan permanen dalam diri seseorang yang menimbulkan dorongan dan perlakuan untuk mencapai tujuan tertentu. Kebutuhan muncul sebagai akibat adanya perubahan ( internal change ) dalam organisme atau akibat pengaruh kejadian - kejadian dari lingkungan organisme (Oemar Hamlik, 1978).
Sedangkan analisa kebutuhan adalah alat untuk mengidentifikasi masalah guna menentukan tindakan yang tepat. (Morrison, 2001: 27)
Dalam bidang pendidikan misalnya, keadaan saat ini menunjukkan lambatnya para lulusan menerima ijazah dari perguruan tinggi tempat mereka kuliah. Setelah diteliti ternyata penyebabnya adalah tidak adanya petugas khusus yang diberi tanggung jawab menyelesaikan ijazah tersebut. Dalam keadaan seperti ini masalah yang muncul adalah tidak adanya tenaga yang diberi tugas untuk mempersiapkan mencetak dan menyerahkan ijazah kepada lulusan. Untuk menyelesaikan masalah ini diperlukan pengadaan tenaga khusus untuk tugas tersebut. Tenaga ini mungkin diambilkan dari unit lain atau direktur baru.
Suatu contoh lain, buruknya hasil dari cetakan majalah yang dikeluarkan suatu lembaga pendidikan, sehingga menyebabkan munculnya protes dari pembacanya. Setelah diteliti ternyata hal tersebut disebabkan mesin yang tidak berfungsi dengan normal. Untuk itu diperlukan perbaikan atau penggantian beberapa bagian dari mesin itu.
Kedua contoh sederhana diatas tidak berhubungan langsung dengan system instruksional. Keduanya bukan kebutuhan instruksional. Memang tidak semua kebutuhan dan  masalah dapat disebut sebagai kebutuhan instruksional karena belum tentu memerlukan penyelesaian dengan melaksanakan kegiatan instruksional.
Sering kali orang memcampuradukkan  kebutuhan (needs) dengan keinginan (wants). Kebutuhan adalah kesenjangan antara keadaan sekarang dengan yang seharusnya. Kebutuhan yang menjadi prioritas untuk dipecahkan adalah masalah. Sehingga dapat dikatakan kalau orang menyebut kebutuhan. Pikiran kita mengkaitkannya dengan masalah. Sedangkan keinginan atau cita-cita (desire) terkait dengan pemecahan terhadap suatu masalah.
Karena itu Kaufman (1982) mengajak kita untuk menghentikan kebiasaan melompat ke pemecahan masalah (keinginan) sebelum kita yakin apa masalah yang kita hadapi. Bila dapat menghentikan kebiasaan yang keliru itu kita akan menghemat biaya, waktu  dan sumber daya manusia.
Kebutuhan adalah kesenjangan (Gap/Discrepancy) antara apa/kondisi yang ada dan apa/kondisi yang seharusnya ada. Kebutuhan belajar (learning needs) atau kebutuhan pendidikan (education need) adalah kesenjangan yang dapat diukur antara hasil belajar atau kemampuan yang ada sekarang dan hasil belajar atau kemampuan yang diinginkan/dipersyararatkan.
Menurut Prof. Djuju Sudjana kebutuhan belajar dapat diartikan sebagai suatu jarak antara tingkat pengetahuan, keterampilan, dan/atau sikap yang dimiliki pada suatu saat dengan tingkat pengetahuan, keterampilan, dan/atau sikap yang ingin diperoleh sesorang, kelompok, lembaga, dan/atau masyarakat yang hanya dapat dicapai melalui kegiatan belajar.
Proses identifikasi kebutuhan yang dimulai dari mengidentifikasi kesenjangan antara keadaan sekarang dengan keadaan yang dihadapkan sekaligus dilanjutkan sampai kepada proses pelaksanaan pemecahan masalah dan evaluasi terhadap efektifitas dan efesiensinya. Hal ini dapat dipahami karena para ahli dalam bidang ini membahas proses penilaian kebutuhan (need assessment) secara tersendiri. Bila mereka tidak mengaitkannya dengan proses selanjutnya, yaitu pelaksanaan pemecahan masalah dan evaluasinya. Proses menilai kebutuhan itu akan kehilangan makna.
Tetapi lain halnya yang dibahas dalam buku ini. Proses tersebut ditempatkan sebagai bagian pemulaan dari proses pengembangan. Sedangkan dari proses pengembangan sendiri adalah bagian pemulaan dari siklus kegiatan instruksional yang masih harus diikuti dengan pelaksanaan dan evaluasi instruksional.

B.     Kebutuhan siapa?
Dari hasil evaluasi pada akhir suatu pelajaran siswa berpendapat bahwa apa yang diperoleh dalam pembelajaran itu kurang berguna bagi mereka. Di samping itu, penyajiannya tidak menarik serta sulit dipahami. Mereka berpendapat bahwa sebagian isi mata pelajaran itu kurang relevan. Disamping itu, tesnya kurang tersusun dengan baik. Masalahnya adalah kurang baiknya kualitas sistem instruksional untuk mata pelajaran tersebut. Untuk mengatasi masalah ini mata pelajaran itu harus didesain kembali.
Dari contoh diatas dapat dilihat pendapat dari pihak siswa dan pihak pendidik tentang kesenjangan kualitas instruksional dalam suatu mata pelajaran. Keduanya kebetulan satu pendapat. Tetapi, dalam kasus yang lain pendapat kedua pihak tersebut mungkin berbeda.
Siapa sebenarnya yang menentukan ada tidaknya kebutuhan instruksional? Apakah pendidik termasuk di dalamnya pengajar dan pengelola program pendidikan, orang tua atau masyarakat?
Kaufman dan English (1979) menjawab: ‘mereka semua’.  Bagaimana dengan siswa? Apakah siswa tidak perlu didengar apa masalah atau kebutuhan yang dihadapinya? Dick dan Carey (1985) mengutip Rossett (1982) yang mengatakan keharusan melibatkan siswa dalam proses mengidentifikasi kebutuhan. Siswa yang dilibatkan dalam mengidentifikasikan masalah ini haruslah siswa yang sudah matang terutama siswa yang sudah bekerja agar dapat memberikan gambaran masalah yang relevan dengan pekerjaannya sehari-hari. Dengan demikian, dapat diharapkan bahwa pelajaran yang diterimanya sesuai dengan kebutuhannya.
Jadi, ada tiga kelompok yang dapat dijadikan sumber informasi dalam mengidentifikasi kebutuhan instruksional, yaitu:
a.       Siswa (terutama siswa yang sudah bekerja)
b.      Masyarakat (termasuk orang tua dan pengguna lulusan)
c.       Pendidik (termasuk pengajar dan pengelola program pendidikan.
Kompetensi yang diharapkan dicapai (Tujuan)

Peserta didik/    Penyidik/ lulusan         penyelenggara



Masyarakat yang akan Atau Pengguna
Dilayani   lulusan


Masuk
Harles (1975) melukiskan ketiga pihak tersebut dalam bentuk segitiga sebagai berikut:













Gambar 1.  Hubungan kerja sama dan Partisipasi 3 mitra dalam mengidentifikasi kebutuhan instruksional dan pengembangan kurikulum (Modifikasi dari Harles 1975)

Secara umum informasi yang akan dicari dalam proses mengidentifikasi kebutuhan instruksional adalah kompetensi siswa saat ini dan kompetensi siswa yang seharusnya dikuasai agar ia atau mereka dapat melaksanakan pekerjaan atau tugasnya dengan baik.
Bagi seorang pengembang instruksional informasi yang bermanfaat adalah informasi tentang kurangnya prestasi siswa yang disebabkan oleh kurangnya pengetahuan atau ketrampilan siswa, bukan yang disebabkan oleh kekurangan perataan kerja. Sikap atasan atau lingkungan kerja lainnya.  Hanya masalah yang disebabkan kurangnya siswa dalam mendapatkan kesempatan pendidikan atau training yang dapat diatasi dengan kegiatan instruksional.
Sering kali pengembang terlalu cepat mengambil kesimpulan bahwa setiap indicator yang menunjukkan rendahnya prestasi siswa atau pegawai harus diselesaikan dengan pemberian pelajaran atau latihan. Seharusnya pengembangan instrusional melakukan satu langkah tambahan yaitu mencari factor penyebab kekurangmampuan siswa sebelum menentukan cara membantunya dalam mencapai kemampuan yang diharapkan. Siswa yang mempunyai kemampuan rendah mungkin disebabkan oleh berbagai hal seperti suasana hidup dirumah bersama keluarga, peralatan belajar, atau biaya. Dalam situasi seperti itu biarpun ia diberi pelajaran atau latihan berulang kali, hasinya tidak akan menggembirakan karena pemberian pelajaran atau pelatihan bukanlah pemecahan masalah yang tepat. Untuk menghindari kesalahan dalam memutuskan cara memecahkan masalah, berikut akan disampaikan langkah-langkah yang sistematik dalam menentukan kebituhan instruksional.
Kebutuhan instruksional itu beragam hingga setiap orang cenderung memiliki kebutuhan instruksional yang berbeda. Dalam satu kelompok yang memiliki sepuluh orang anggota mungkin akan terdapat lebih dari sepuluh macam kebutuhan setiap instruksional anggotanya anggotanya. Kebutuhan yang dirasakan oleh seseorangpun mungkin akan berbeda apabila ruang dan waktu pun berbeda. Kebutuhan instruksional yang dirasakan oleh seseorang yang berada didaerah pedesaan mungkin akan berbeda dengan kebutuhan instruksional yang dirasakan apabila orang tersebut tinggal di kota. Kebutuhan instruksional  yang dirasakan tahun lalu mungkin akan berbeda pula dengan kebutuhan belajar yang akan dirasakan pada tahun mendatang. Apabila suatu kebutuhan instruksional telah terpenuhi, akan muncul kebutuhan lainnya yang harus dipenuhi melalui kegiatan instruksional.
Kebutuhan instruksional perlu diidentifikasi melalui pendekatan perorangan. Identifikasi ini dilakukan dengan menggunakan instrumen yang cocok sehingga dapat mengungkap informasi yang dinyatakan oleh setiap individu yang merasakan kebutuhan instruksional. Instrumen itu antara lain adalah wawancara, angket, dan kartu atau dokumen.
Kebutuhan instruksional yang dirasakan sama oleh setiap individu dalam suatu kelompok disebut kebutuhan belajar kelompok. Kebutuhan belajar kelompok ini pada umumnya dapat dipenuhi melalui kegiatan belajar bersama atau kegiatan belajar kelompok. Wadah kegiatan belajar bersama dalam suatu kelompok itu disebut kelompok belajar. Kelompok belajar bertujuan untuk terjadinya proses belajar yang didasarkan atas kebutuhan instruksional yang telah diidentifikasi sebelumnya. Dengan kata lain bahwa hasil identifikasi kebutuhan bahan belajar itu dijadikan bahan masukan dalam penyusunan kurikulum atau program belajar. Kurikulum ini dapat meliputi antara lain pengetahuan keterampilan, dan/atau sikap yang akan dipelajari dalam kelompok belajar.

C.     Langkah-Langkah Mengidentifikasi Kebutuhan Instruksional

Mengidentifikasi kebutuhan instruksional adanya suatu proses untuk:
A. Menentukan kesenjangan penampilan siswa yang disebabkan kekurangan kesempatan mendapatkan latihan pada masa lalu
b.      Mengidentifikasi bentuk latihan atau kegiatan instruksional yang paling tepat
c.      Menentukan populasi sasaran yang dapat mengikuti kegiatan instruksional tersebut untuk mengetahui jumlah peserta didik yang potensial karena menghadapi masalah yang sama
Untuk menghindari kesalahan dalam memutuskan cara memecahkan masalah, berikut adalah bagan proses mengidentifikasi dan langkah-langkah sistimatisnya:

Langkah 1
Mengidentifikasi  kesenjangan hasil produk atau prestasi siswa atau karyawan saat ini dengan hasil yang seharusnya, berarti menjelaskan perbedaan antara hasil atau produksi kerja saat ini dengan yang diharapkan. untuk mendapatkan kedua jenis data ini pengembang instrusional dapat membaca dari laporan tertulis (bila ada), observasi, interview, kuesione, atau data dari dokumen lain yang dapat dipercaya yang terdapat disekolah atau tempat kerja siswa atau karyawan. Data tersebut harus menyangkut hasil produk atau prestasi, bukan proses belajar siswa atau proses kerja karyawan.

Langkah 2
Mengetahui hasil kesenjangan hasil seperti yang di kemukakan dalam langkah 1 di atas tidaklah  cukup untuk mengambil suatu tindakan memecahkan masalah. pengembang instruksional harus menilai kesenjangan tersebut dari segi:
a.       Tingkat signifikasi pengaruhnya
b.      Luas ruang lingkupnya
c.       Pentingnya peranan kesenjangan tersebut terhadap masa depan lembaga atau program.
Menilai segnifikasi pengaruh suatu kesenjangan tersebut untuk diatasi, merupakan hal yang relatif. Pengembangan instruksional harus mampu menyajikan nilai kerugian yang ditimbulkan kesenjangan tersebut dalam bentuk: uang, waktu, pemborosan bahan, penyusutan produksi kerja, penyusutan kualitas kerja, bahaya yang ditimbulkandan factor-faktor yang tidak dapat dihitung dalam bentuk biaya, seperti menurunya rasa aman, berkurangnya kerja sama, dan merosotnya motivasi.

Mager dan Pipe (1984) memberi contoh sederhana cara menghitung nilai kesenjangan dalam bentuk uang:
Seorang pengawas (supervisor) mengeluh tentang bahan yang harus dikerjakan kembali oleh 12 pengetiknya. Kurang lebih 12% dari waktu kerja digunakan mengerjakan kembali kesalahan-kesalahan dalam mengetiknya. Bila kesenjangan ini dihitung dengan uang, dalam waktu satu tahun akan menjadi $ 72.000 atau sekitar Rp 125.000.000,00. Angka ini diperoleh dari hitungan sebagai berikut:
Upah rata-rata per jam $ 12
Mereka bekerja 5 hari (seminggu)= 48 minggu (setahun)
Jadi, 48 (minggu) x 5 (hari) x 2 (jam) x 12 (orang) x $12 (upah per jam) = $ 72.00.
Bila kensenjangan tersebut dianggap tidak menjadi prioritas yang harus diatasi, maka kesenjangan tersebut tidak dianggap sebagai masalah yang harus diatasi. Tetapi, bila tidak ada kesenjangan yang lain kecuali kesenjangan tersebut maka, kesenjangan mempunyai pengaruh yang berarti. Kesenjangan tersebut pempunyai ruang lingkup luas, dan penting. Maka perlu di teruskan ke langkah 3

Langkah 3
a.       Menganalis kemungkinan penyebab kesenjangan melalui pelaksanaan observasi, interview, dan analisis logis
b.        Memisahkan kemungkinan penyebab yang tidak berasal dari kekurangan pengetahuan, keterampilan dan sikap untuk diserahkan penyelesaiannya pada pihak lain
c. Mengelompokkan penyebab yang berasal dari kekurangan pengetahuan, keterampilan dan sikap tertentu untuk diteruskan ke langkah 4.
Dalam contoh kesenjangan hasil ketikan diatas, pendisain instruksional tidak boleh segera memutuskan untuk menyusun desain program latihan mengetik sebelum melakukan observasi terhadap hasil ketikan, mesin ketik yang digunakan dan proses pengetikan yang dilakukan kedua belas pengetik tersebut. Mungkin diperlukan interview dengan kedua belas pengetik tersebut untuk mengetahui latar belakang pendidikan, motivasi dan pengalaman kerja mereka.
Hasil observasi dan interview ini akan menggambarkan kemungkinan penyebab kesenjangan diatas. Bila ternyata faktor penyebabnya adalah rendahnya mutu mesin ketik dan lingkungan kerja, pendisain instruksional hendaknya menyampaikan hasilnya kepada pengambil keputusan atau pimpinan kantor atau lembaga tersebut untuk penyelesaian lebih lanjut. Tetapi, bila kemungkinan penyebabnya ternyata adalah kurang terampilnya para pengetik, pengembang instruksional terus melakukan langkah ke 4.

 Langkah 4
Menginterview siswa atau karyawan yang bersangkutan untuk memisahkan antara yang sudah pernah dan yang belum pernah memperoleh pendidikan atau latihan dalam bidang kerjanya. Siswa yang sudah pernah mendapatkan pendidikan dan latihan meneruskan ke langkah 5, sedangkan yang tidak pernah mendapatkan pendidikan dan latihan tersebut meneruskan ke langkah 8.



Langkah 5
Selanjutnya, mengelompokkan yang sudah pernah mendapatkan pendidikan dan latihan dalam dua kelompok. Yaitu yang sering dan yang jarang. Kemudian terus ke langkah berikutnya, yaitu langkah ke 6 dan 7.

Langkah 6
Kelompok yang telah sering mendapatkan pendidikan dan latihan diberi umpan balik atas kekurangannya dan diminta mempraktikkannya kembali sampai dapat melakukan tugasnya seperti yang diharapkan.

Langkah 7
  Kelompok yang masih jarang mendapatkan kesempatan mengikuti pendidikan dan latihan dalam pengetahuan,  ketrampilan atau sikap yang relevan dalam bidang kerjanya diberi kesempatan mempraktikkan lebih banyak apa yang telah diperolehnya dari pendidikan atau latihan masa lalu. Supervisi dari dekat diperlukan sampai mereka mencapai hasil kerja yang diharapkan.

Langkah 8
Untuk kelompok siswa atau karyawan yang belum pernah mempelajari pengetahuan, ketrampilan dan sikap tersebut, dibuatkan program instruksional dengan cara terlebih dahulu dirumuskan tujuan instruksional umum (TIU). Isi TIU tersebut mencakup pengetahuan, keterampilan, dan sikap atau kompetensi yang belum pernah dipelajari peserta didik atau karyawan. Dalam contoh diatas, keterampilan yang harus masuk dalam TIU tersebut adalah mengetik dengan teknik yang benar dengan skor minimal tertentu.

Bagaimana mengidentifikasi kebutuhan instrusional untuk program pendidikan yang lain, seperti mata kuliah yang banyak berorientasi pada kegi akademis-teoretis?
Mengidentifikasi kebutuhan instruksional adalah kegiatan awal dari kegiatan menentukan tujuan instruksional umum. Seorang pengajar yang telah atau baru akan mengajarkan mata pelajaran yang sudah biasa diajarkan di lembaga tempat ia mengajar, seperti di perguruan tinggi pada umumnya, tidak melakukan proses mengidentifikasi kebutuhan instruksional seperti yang telah digambarkan di atas karena berbagai alasan.
Pertama, siswa yang mengikuti mata pelajaran itu umumnya belum bekerja. Bahkan, mereka belum tentu tahu jenis pekerjaan yang akan dihadapinya kelak. Walaupun ada yang bekerja saat ini. Mereka tidak bekerja dalam bidang yang sama.
Kedua, mata pelajaran yang akan diajarkan telah tertentu, bahkan seringkali telah ditentukan ruang lingkup dan garis besar isinya oleh lembaga pendidikan yang bersangkutan.
Ketiga, mata pelajaran itu belum tentu hanya terkait kepada satu jurusan atau program studi. Tetapi mungkin bersifat umum seperti Mata Kuliah Dasar Umum (MKDU). mata kuliah wajib Fakultas dan semacamnya. Kadang-kadang mata kuliah seperti itu terkait dengan kebudayaan dan filsafat Negara.
Dalam keadaan seperti itu pengembangan instruksional tidak mungkin melakukan indentifikasi kebutukan instruksional yang berorientasikan kepada pekerjaan tertentu. Pengajar senior, pengembang kurikulum, para ahli, pimpinan lembaga pendidikan yang mewakili kelompok pendidik dan pembimbing lembaga pemerintah dan perisahaan swasta yang akan menggunakan lulusan dapat dijadikan sumber pemberian informasi tentang kebutuhan instruksional untuk mata pelajaran tersebut. Tyler (1949) menggolongkan pengajar yang disebut artistic teachers. Walaupun tidak mempunyai gambaran yang jelas tentang tujuan instruksional, mereka mempunyai intuisi tentang  apa yang dimaksud  dengan mengajar yang baik, apa bahan-bahan pelajaran yang baik, apa isi pelajaran yang sebaiknya diajarkan dan bagaimana mengembangkan topik-topik yang efektif bagi siswa. Demikian pula dengan pimpinan lembaga pendidikan, lembaga pemerintahan dan perusahaan swasta memperoleh informasi yang berharga bagi pengembangan instruksional dalam mengidentifikasi kebutuhan instruksional.
Proses desain pembelajaran diawali dengan mengidentifikasi masalah atau kebutuhan. Perancang pembelajaran dapat menggunakan tiga pendekatan yang berbeda dalam menganalisis masalah pembelajaran yaitu kebutuhan pembelajaran, analisis tujuan, dan pelaksanaan pembelajaran (Morrison, Ross, dan Kemp, 2007: 31). Dalam mengidentifikasi masalah atau kebutuhan dapat menggunakan tiga cara analisis yaitu analisis kebutuhan pembelajaran, analisis tujuan, dan analisis pelaksanaan pembelajaran. Pada makalah ini akan dikaji salah satu teknik identifikasi masalah yaitu analisis kebutuhan pembelajaran.
Kaufman dan English (1979) dan Kaufman, Rojas, dan Mayer (1993) mendeskripsikan kebutuhan pembelajaran sebagai sebuah alat untuk mengidentifikasi masalah dan kemudian memilih intervensi yang cocok (Morrison, Ross, dan Kemp, 2007:32).
Kebutuhan pembelajaran merupakan alat yang digunakan untuk mengidentifikasi masalah kemudian berdasarkan identifikasi masalah tersebut dipilihlah intervensi yang cocok untuk menyelesaikan masalah tersebut.
Dick, Carey, dan Carey mengungkapkan kebutuhan pembelajaran adalah sebuah komponen kritis dari keseluruhan proses desain. Peserta dan pendidik haruslah menyadari bahwa penciptaan pembelajaran yang tidak ada gunanya menghabiskan biaya besara dan mendorong sikap-sikap siswa yang merusak di dalam pembelajaran yang tiada arti. Oleh karena itu, perhatian lebih ditekankan pada awal dan akhir analisis, analisis penyelenggaran, dan pendekatan lain untuk mengidentifikasi kebutuhan secara lebih akurat. Dahulu, survey digunakan untuk mengidentifikasi dan mendokumentasikan pelatihan kebutuhan. Sekarang, survey dilengkapi dengan wawancara dan pengalaman langsung. (Dick, Carey, dan Carey, 2009: 23)
Burton dan Merrill mengungkapkan terdapat enam kategori identifikasi kebutuhan yang digunakan untuk merencanakan dan melaksanakan sebuah kebutuhan pembelajaran. (Morrison, Ross, dan Kemp, 2007: 33) Keenam kategori tersebut dapat digunakan untuk menetukan tipe dari informasi dan pengklasifikasian kebutuhan. Keenam kategori tersebut adalah
1. Kebutuhan normatif (normative needs)
Kebutuhan normatif diidentifikasi dengan membandingkan target individu dengan standar nasional.
2. Kebutuhan komparatif (comparative needs)
Kebutuhan komparatif diidentifikasi dengan membandingkan satu kelas dengan kelas yang setara atau membandingkan dua sekolah yang setara untuk mengidentifikasi perbedaan seperti peralatan yang digunakan ataupun nilai hasil tes.
3. Kebutuhan perasaan (felt needs)
Kebutuhan perasaan adalah keinginan dari individu untuk meningkatkan penampilan atau target yang ingin dicapai. Kebutuhan perasaan diidentifikasi melalui wawancara dan tes.
4. Kebutuhan berekspresi (expressed needs)
Kebutuhan berekspresi adalah daftar tunggu yang mengindikasikan kebutuhan bagian lain, ruang yang lebih luas, atau kesempatan untuk ambil bagian. Kebutuhan perasaan sering diidentifikasi dalam kotak saran atau dalam penerbitan dengan pertanyaan-jawaban, atau kolom saran.
5. Kebutuhan masa depan atau harapan (anticipated or future needs)
Kebutuhan harapan adalah perubahan identifikasi yang mungkin akan terjadi di masa yang akan datang. Kebutuhan harapan sering diidentifikasi melalui wawancara dan tes seperti halnya dalam kebutuhan perasaan akan tetapi dengan pertanyaan tambahan mengenai kemungkinan perubahan di masa yang akan datang.
6. Kebutuhan kejadian krisis (critical incident needs)
Idenfikasi kebutuhan kejadian krisis sebagai kegagalan yang jarang tetapi memiliki konsekuensi yang signifikan. Kebutuhan kejadian krisis diidentifikasi dengan oleh analisis potensi masalah.

Pelaksanaan kebutuhan pembelajaran meliputi empat tahapan. Keempat tahapan itu meliputi perencanaan (planning), mengumpulkan data (collecting data), menganalisis data (analyzing data) dan menyiapkan laporan akhir (prepare the final report).
1.    Perencanaan (planning)
Kebutuhan pembelajaran yang efektif fokus pada target dari audiens (siswa). setelah audiens ditentukan, sebuah strategi dikembangkan untuk mengumpulkan data. Perancang pertama menentukan data yang dibutuhkan untuk setiap tipe kebutuhan.
2.    Mengumpulkan data (collecting data)
Pertimbangan yang hati-hati dalam besarnya dan persebaran sampel dibutuhkan dalam mengambil data. Sampel meliputi orang dari tempat dan wilayah yang mewakili.
3.    Menganalisis data (analyzing data)
Setelah data dikumpulkan kemudian dianalisis. Hasil dari analisis adalah kebutuhan yang diutamakan. Kebutuhan dapat diutamakan berdasarkan nilai ekonomi, skala peringkat, frekuensi identifikasi, atau ketepatan waktu.
4.    Menyiapkan laporan akhir (prepare the final report)
Laporan kebutuhan pembelajaran seharusnya meliputi empat bidang:
a.  Kesimpulan tujuan pembelajaran
b.  Kesimpulan proses
c.  Kesimpulan hasil
d.  Rekomendasi penting berdasarkan data
B. MELAKUKAN ANALISIS INSTRUKSIONAL
1. Pengertian Analisis Instruksional
Analisis intruksional adalah sebagai tahapan proses yang merupakan keseluruhan dari pemaparan bagaimana perancang (desainer) menentukan komponen utama dari tujuan instruksional melalui kegunaan analisis tujuan (goal analysis), dan bagaimana setiap langkah dalam tujuan tersebut dapat dianalisis untuk mengidentifikasi keterampilan subordinate atau keterampilan prasyarat. (Dick and Carey 2005)
Analisis instruksional sebagai perangkat (satu set) prosedur yang ketika dipublikasikan ketujuan instruksional, menghasilkan pengindentifikasian langkah-langkah yang sesuai untuk melaksanakan tujuan dan keterampilan subordinate bagi sibelajar dalam rangka mencapai tujuan. (Dick and Carey 2005)
Suparman (2012:157) mengartikan analisis instruksional sebagai proses yang menjabarkan kompetensi umum menjadi subkompetensi, kompetensi dasar, atau kompotensi khusus yang tersusun secara logis dan sistematik. Kegiatan tersebut dimaksudkan untuk mengidentifikasi daftar subkompotensi dan menyusun hubungan antara subkompetensi yang satu dengan subkompetensi yang lain menuju kompetensi umum. Dari kedudukan tersebut jelas kedudukan subkompetensi yang perlu dicapai lebih dahulu karena berbagai hal seperti: kedudukannya sebagai kompetensi prasyarat, subkompetensi yang diperluykan untuk mencapai subkompetensi yang hirarkinya lebih tinggi, subkompetensi yang menurut ututan gerakan fisik belangsung lebih dahulu, subkompotensiyang menurut proses psikologis muncul lebih dahuluatau secara kronologis lebih awal.
Analisis instruksional dapat menggambarkan susunan subkompetensi dari yang paling awal sampai yang paling akhir. Jumlah dan susunan subkompetensi tersebut akan memberikan keyakinan kepada pengajar bahwa kompetensi umum yang tercantum dalam TIU dapat dicapai secara efektif dan efisien. Melalui tahapan subkompetensi tertentu siswa dapat mencapai kompetensi umum. subkompetensi yang telah disusun secara sistematis menuju kompetensi umum bagaikan jalan yang singkat yang harus dilalui oleh para siswa untuk mencapai tujuannya dengan baik.
Dari beberapa definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa analisis instruksional adalah  suatu prosedur dalam mengidentifikasi kompetensi yang harus dikuasai siswa dengan menjabarkan kompetensi umum menjadi subkompetensi yang tersusun secara logis dan sistematis untuk mencapai tujuan instruksional.
2.2 Hal-Hal Yang Harus Diperhatikan Dalam Melaksanakan Analisis Instruksional
Ditinjau dari pendapat Dick and Carey (2005), proses analisis instruksional dimulai dari melaksanakan analisis tujuan  (goal analysis) yang dimulai setelah memperoleh pernyataan yang jelas dari instruksional.
1. Analisis Tujuan (Goal Analysis)
Hal yang harus diperhatikan adalah:
a. Pengklarifikasian pernyataan tujuan berdasarkan domain (jenis) belajar yang akan muncul.
Domain belajar dapat dibagi atas empat yakni:
1. Keterampilan intelektual
Keterampilan yang mensyaratkan sibelajar melakukan kegiatan kognitif yang unik. Unik yang dimaksud disini adalah  sibelajar harus mempu memecahkan masalah atau menampilkan satu perilaku dengan contoh atau informasi yang tidak ditemukan sebelumnya.
2. Informasi Verbal
Keterampilan yang mensyaratkan sibelajar memberikan respons yang spesifik terhadap stimuli yang relative spesifik. Biasanya tujuan keterampilan ini dapat dikenali dari kata kerja yang digunakan. Kata kerja seperti menyebutkan atau menjelaskan sesuatu.
3. Sikap
Sikap adalah pernyataaan kompleks manusia terhadap orang, benda dan kejadian. Dick and Carey (2005) mendefenisikan sebagai kecenderungan membuat pilihan-pilihan tertentu atau keputusan tertentu terhadap keadaan tertentu. Sikap mempengaruhi pilihan sikap seseorang dan merupakan tujuan jangka panjang yang sulit diukur dalam waktu singkat. Tujuan instruksional yang berfokus pada sikap dan dianggap sebagai sesuatu yang mempengaruhi sebelajar memilih. Sikap memilih dapat menunjukkan kecenderungan positif atau negative terhadap objek kejadian atau orang tertentu.
4. Keterampilan psikomotor
Karakteristik dari keterampilan psikomotor adalah sibelajar harus melaksanakan gerakan otot dengan atau tanpa peralatan untuk mencapai hasil yang spesifik. Ketrampilan ini melibatkan mental dan fisik. Perilaku dari tampilan ini berupa kecepatan gerakan tubuh, keakraban kekuatan dan kelenturan.

Setiap tujuan dapat dimulai dengan menjawab pertanyaan “bagaimana kita menentukan keterampilan belajar apa yang harus dipelajari sehingga dapat tercapai tujuan-tujuan yang telah dibuat?” Jawabannya adalah mengklasifikasian setiap tujuan kedalam salah satu domain belajar diatas.

b. Mengidentifikasi dan mengurutkan langkah-langkah utama ketika sibelajar sedang menampilkan tujuan.
Langkah kedua dari analisis tujuan ini dilakukan setelah kita mengidentifikasi domain dari tujuan maka perlu untuk lebih spesifik mengindikasikan apa yang akan dilakukan sibelajar ketika sedang menampilkan tujuan. Teknik terbaik yang sebaiknya digunakan oleh seorang desainer untuk menganalisa sebuah tujuan adalah dengan mendiskripsikan langkah demi langkah secara terperinci kegiatan atau apa yang akan dilakukan seseorang ketika menampilkan sebuah tujuan.
Analisis tujuan merupakan tayangan visual dari langkah-langkah spesifik yang sibelajar akan lakukan ketika menampilkan tujuan instruksional sebaiknya ditayangkan dalam bentuk yaitu langkah demi langkah dalam kotak tersusun disebuah diagram air (flow diagram). (Dick and Carey 2005)
Step 1
Step 2
Step 3
Step 4
Step 5



Gbr. Flow diagram
Pada saat menyusun daftar langkah-langkah tersebut yang harus diperhatikan adalah sipembelajar, apakah sipembelajar berusia muda atau dewasa karena akan mempengaruhi jumlah angka yang harus dibuat. Pendiskripsian setiap langkah harus mencamtumkan sebuah kata kerja yang menjelaskan sebuah tingkah laku yang dapat diobservasi. Contohnya “ bila membaca atau mendengar  (keduanya proses internal bukan tingkah laku yang jelas) langkahnya sebaiknya diindikasikan apa yang sibelajar akan identifikasi dari apa yang mereka baca ata dengar. Setiap langkah sebaiknya memiliki outcome yang dapat diobservasi. Sedikitnya 5 langkah yang ada pada tahapan ini tetapi tidak lebih dari 15 untuk durasi waktu 1 sampai 2 jam pengajaran.
Menulis TIU (target objective) mensyaratkan disainer mengklasifikasikan keterampilan target berdasarkan tipe hasil belajar. Hal ini memungkinkan melanjutkan keanalisis berikutnya, yaitu analisis tugas (Task Analysis). Tetapi sebelumnya ada bebrapa hal lagi yang sebaiknya diperhatikan yaitu pengujian setiap langkah yang telah dibuat hingga pada akhirnya akan berbentuk produk akhir dari analisis tujuan (goal analysis) berupa diagram keterampilan yang menyediakan gambaran mengenai apa yang akan menyediakan gambaran mengenai apa yang sedang dilakukan oleh sibelajar ketika mereka menampilkan tujuan instruksioanl umum. Kerangka kerja inilah yang nantinya menjadi dasar bagi analisis keterampilan prasyarat atau subordinate skill analysis.
2. Analisis Keterampilan Prasyarat (Subordinate skill analysis)
Setelah langkah-langkah dalam tujuan teridentifikasi dianggap perlu melakukan pengujian setiap langkah untuk menentukan apa yang seharusnya telah diketahui seibelajar dapat mempelajari langkah yang ditampilkan (perform) dalam tujuan. Langkah ini disebut analysis keterampilan prasyarat atau subordinate skill analysis.
Dalam analisis ini tujuan yang akan dibahas terlebih dahulu adalah tujuan  murni (pure goals) yang langkah-langkahnya hanya keterampilan intelektual atau hanya ketrampilan psikomotor. Tujuan kompleks (complex goal) melibatkan beberapa domain / ranah segaligus. Sebuah kombinasi berbagai pendekatan dapat digunakan dengan tujuan kompleks. Dalam rangka memulai sebuah analisis keterampilan prasyarat, perlu diperoleh deskripsi  atau gambaran mengenai tugas utama si belajar yang harus ditampilkan sehingga terpenuhilah tujuan instruksional umum.
Berbagai pendekatan dalam melakukan analisis keterampilan prasyarat menurut Dick and Carey (2005) yakni:
1. Pendekatan Hirarki (hierarchial approach)
2. Pendekatan Pengelompokan (cluster approach)
3. Pendekatan Hirarki dan atau Pendekatan Pengelompokan
Suparman (2012: 158) menjelaskan empat macam struktur kompetensi. Empat susunan struktur kompetensi tersebut sebagai berikut:
1. Struktur Hirarkial
Struktur kompetensi yang hierarkikal adalah kedudukan dua kompetensi yang menunjukkan bahwa kompetensi hanya dapat dilakukan bila telah dikuasai kompetensi yang lain. kompetensi B misalnya, hanya dapat dipelajari bila siswa telah dapat melakukan kompetensi A. Kedudukan A dan B disebut hierarkikal. Dalam suatu kurikulum, mata pelajaran A merupakan prasyarat untuk mengikuti pelajaran B, atau Kompetensi Dasar (KD) A merupakan prasyarat untuk mengikuti Kompetensi Dasar (KD) B. Tanpa lulus KD A siswa tidak boleh atau tidak mungkin langsung mengikuti KD B.
Perhatikan contoh-contah kompetensi di bawah ini :
a) Kedudukan kompetensi mengamati jaringan tumbuhan dan memahami sel tumbuhan. Mengamati jaringan tumbuhan seperti mengamati sel penyusun, bentuk sel penyusun, ukuran sel penyusun tidak mungkin dilakukan bila siswa belum memahami tentang sel tumbuhan.
Mengamati Jaringan Tumbuhan
Memahami Pengertian Sel Tumbuhan








Gbr. Struktur  Hirarkial

Kedua kompetensi tersebut tersusun secara hierarkikal. Memahami pengertian sel tumbuhan merupakan prasyarat untuk dapat mengamati jaringan tumbuhan.
b) Kedudukan kompetensi mengambil keputusan terhadap kompetensi manganalisis alternatif pemecahan masalah. Kompetensi mengambil keputusan untuk memecahkan masalah tertentu hanya dapat dilakukan bila sudah menguasai cara melakukan analisis alternatif yaitu teknik membandingkan berbagai alternatif pemecahan masalah dari berbagai segi seperti segi efisiensi dan efektivitas.
Mengambil Keputusan

Analisis Alternatif








Gbr. Struktur  Hirarkial
Setiap contoh diatas dapat diteruskan dengan menambah kotak di bawah atau di atas kedua kotak yang telah ada. Untuk menunjukkan struktur hierarkikal, kotak tambahan harus menunjukkan kompetensi prasyaratnya (bila di bawah) atau kompetensi yang lebih tinggi tingkatannya (bila di atas). Untuk menunjukkan struktur kompetensi hierarkikal yang berbeda dengan struktur yang lain, kedua kotak dalam setiap kotak tadi disusun atas-bawah dan dihubungkan dengan garis vertikal.

2. Struktur Prosedural
Struktur kompetensi prosedural adalah kedudukan beberapa kompetensi yang menunjukkan satu seri urutan kompetensi, tetapi tidak ada kompetensi yang menjadi prasyarat untuk yang lain.Walaupun kompetensi khusus dilakukan berurutan untuk dapat melakukan kompetensi umum, tetapi setiap kompetensi dapat dipelajari secara terpisah.
Di bawah ini beberapa contoh kompetensi yang tersusun secara prosedural.
a) Dalam melakukan kompetensi umum “lari cepat” terdapat sedikitnya tiga kompetensi yang terstruktur secara procedural.
Start
Lari
Melintasi garis finish



Gbr. Struktur Prosedural
Agar dapat melakukan kompetensi lari cepat dengan baik, ketiga kompetensi tersebut harus dilakukan secara berurutan. Namun setiap subkompetensi itu dapat dipelajari secara terpisah.
Belajar lari cepat dengan teknik yang baik tidak harus mensaratkan kemampuan melakukan start lebih dahulu, atau mempelajari melintas garis finish dengan baik, melainkan mensyaratkan kemmapuan berlari dengan teknik yang baik. Melakukan start bukanlah kompetensi prasyarat untuk komptensi lari. Demikian pulalah kompetensi lari bukanlah prasyarat untuk mempelari cara melintasi garis finish. Tidak ada kompetensi yang menjadi prasyarat untuk mempelajari kompetensi yang lain. Ketiga kompetensi tersebut di atas merupakan suatu seri gerakan yang ditampilakan secara berurutan oleh pelari cepat namun tidak tersusun secara hirarkis. Susunan ketiganya disebut procedural.



3. Struktur Pengelompokan
Struktur ini menunjukkan satu rumpun kompetensi yang tidak mempunyai ketergantungan urutan antara satu dengan yang lain, walaupun semuanya berhubungan. Dalam keadaan seperti ini, garis penghubung antar kompetensi yang satu dengan yang lainnya tidak diperlukan. sebagai contoh perhatikan kompetensi dalam permainan bola sodok (bilyard) di bawah ini.
Memperkirakan seberapa keras bola harus disodok untuk menyenggol atau menyentuh bola lain agar bola yang terakhir ini masuk lubang  
(c)
Menaksir jarak antara bola yang akan disodok, bola yang akan disenggol dan lubang (a)
Memperkirakan antara titik senggol kedua bola
(b)










Gbr. Struktur Pengelompokan
Dalam contoh bagan di atas kompensi “memperkirakan seberapa keras bola harus disodok” (c) mensyaratkan sedikitnya dua dua kompetensi lain yaitu: pertama, “menaksirkan jarak antara bola yang akan disodok, bola yang akan disenggol dan lubang" (a); kedua, “memperkirakan antara titik senggol kedua bola” (b). Kompetensi A dan B itu tidak tesusun secara hirarkis. Tidak pula procedural, melaikan pengelompokan.

4. Struktur Kombinasi
Struktur Kombinasi gabungan dari dua atau tiga kompensi. Suatu kompetensi umum bila diuraikan menjadi subkompetensi dapat terstruktur secara  kombinasi antara struktur hirarkial, procedural dan pengelompokan.

Contoh, Kompetensi umum  melakukan lari cepat dapat diuaraikan menjadi beberapa subkompetensi sebagai berikut.
Merangkaikan start, lari, dan melintasi garis finish

Menjelaskan teknik  start

Mejelaskan teknik melintasi garis finish


Menjelaskan teknik lari















Gbr. Struktur Kombinasi
Kompetensi umum untuk melakukan lari cepat terbentuk dengan cara merangkai tiga subkompentesi yaitu start, lari, dan melintas garis finish. Kompetensi merangkai hanya dapat dilakuakn jika saru persatu dari ketiga kompetensi tersebut telah dikuasai. Dengan demikian merangkai  start, lari, dan melintas garis finish membutuhkan prasyarat melakuakn setiap gerakan tersebutsatu per satu. Mana yang harus lebih dahulu dilakukan di antara ketiga gerakan tesebut. Teserah pendesain intruksional. Setiap orang dapat memilih salah satu diantaranya. Karena itu kedudukan ketiga gerakan antara satu dan yang lain terstruktur secara procedural. Mengapa? Karena merangkaikan ketiganya pasti dimulai dengan start, dilanjutkan dnegan lar, diakhiri degan melintasi garis finish. Kompetensi melakuakn start mensyaratkan kemampuan menjelaskan teknik start. Demikian pula kompetensi lari  mensyaratkan kemampuan menjelaskan teknik lari. Sedangkan kompetensi “melintasi garis finish´ mensyaratkan kemampuan menjelaskan teknik melintasi garis finish. Bagan di atas menunjukkan struktur kombinasi antara procedural dan hirarkis.



2.3. Langkah-langkah Melakukan Analisis Instruksional
Adapun langkah-langkah yang digunakan dalam melakukan analisis intruksional adalah sebagai berikut:
1. Menuliskan kompetensi umum yang telah ditulis dalam TIU untuk mata pelajaran yang sedang dikembangkan.
2. Menulis subkompentensi yang menjadi bagian dari kompetensi umum. Jumlah subkompentensi setiap kompetensi umum berkisar 5-10 buah, bisa bertambah bila diperlukan.
3. Menyusun subkompetensi tersebut kedalam suatu daftar dalam urutan yang logis dimulai dari kompetensi umum, kompetensi khusus yang paling “dekat” hubungannya dengan kompetensi umum diteruskan “mundur” sampai kompetensi yang paling jauh dari kompetensi umum.
4. Menambah kompetensi khusus tersebut atau mengurangi jika perlu. Tanamkan dalam pikiran anda bahwa anda harus berusaha melengkapi daftar kompetensi khusus tersebut.
5. Menulis setiap kompetensi khusus dalam suatu lembar kartu atau kertas ukuran 3x5 cm.
6. Menyusun kartu tersebut diatas meja atau lantai dengan menempatkannya dalam struktur hirarkial, prosedural atau pengelompokan menurut kedudukan masing-masing terhadap kartu yang lain. Letakkan kartu-kartu tersebut sejajar atau horizontal untuk kompetensi-kompetensi yang menyerupai struktur prosedural dan pengelompokan serta letakkan secara vertical untuk kompetensi-kompetensi yang hirarkial.
7. Jika perlu,  tambahkan dengan subkompetensi lain yang dianggap perlu atau dikurangi bila dianggap lebih.
8. Menggambarkan letak setiap subkompetensi  tersebut dalam  kotak-kotak di atas kertas lebar sesuai dengan latak kartu yang telah disusun. Hubungkan letak kotak-kotak tersebut dengan kertas vertical dan horizontal untuk menyatakan hubungannya yang hirarkial , prosedural atau pengelompokan.
9. Meneliti kemungkinan menghubungkan kompetensi umum yang satu dan yang lain atau subkompetensi yang khusus yang berada dibawah kompetensi umum yang berbeda.
10. Memberi nomor urut pada setiap subkompetensi dimulai dari yang terjauh sampai yang terdekat dengan kompetensi umum. Pemberian nomor akan menunjukkan urutan kompetensi tersebut.
11. Mengkonsultasikan atau mendiskusikan bagan yang telah disusun dengan memperhatikan:
- Lengkap tidaknya subkompetensi sebagai penjabaran dari setiap kompetensi umum
- Logis tidaknya dari subkompetensi menuju kompetensi umum
- Struktur hubungan subkompetensi tersebut (hirarkial, presedural, pengelompokan atau kombinasi)

C. MENGIDENTIFIKASI PERILAKU DAN KARAKTERISTIK AWAL PESERTA DIDIK
1. Perilaku Awal Siswa
Identifikasi perilaku peserta didik dilakukan dengan memberikan pree-testing yakni tes awal yang dilakukan sebelum dimulai pembelajaran, yang dimaksudkan untuk menguji entry-behavior (kemampuan awal) peserta didik berkenaan dengan tujuan pembelajaran tertentu yang harus dikuasai peserta didik. Identifikasi perilaku dan karakteristik awal siswa juga dilakukan berkenaan dengan program pembelajaran sebuah mata pelajaran atau sebuah lembaga pendidikan tertentu. (Syahidah, 2012)
Untuk mengungkap kemampuan awal, dapat dilakukan dengan pemberian tes dari tingkat bawah atau tes yang berkaitan dengan materi ajar sesuai dengan panduan kurikulum. Sedangkan minat, motivasi, kemampuan berfikir, gaya belajar dan lain-lainnya dapat dilakukan dengan bantuan tes baku yang telah dirancang oleh para ahli. (Abdurrohim, 2011)
Siapa kelompok sasaran, populasi sasaran, atau sasaran didik kegiatan instruksional itu? Istilah itu digunakan untuk menanyakan dua hal tentang perilaku siswa: Pertama, menanyakan siswa yang mana atau siswa sekolah apa. Kedua, menanyakan sejauh mana pengetahuan dan keterampilan yang telah mereka miliki sehingga dapat mengikuti pelajaran tersebut.
Pertanyaaan di atas sangat penting dijawab oleh pengembang instruksional sehingga sejak permulaan kegiatan instruksional telah dapat disesuaikan dengan siswa yang akan mengikutinya. Jawaban itu merupakan pula suatu batasan bagi siswa yang bermaksud mengikuti pelajaran tersebut, sehingga bila mempunyai  perilaku awal tersebut, siswa  sebaiknya tidak mengikuti pelajaran tersebut.
Populasi sasaran dirumuskan secara spesifik seperti contoh di bawah ini:
1.    Mata pelajaran ini disediakan bagi siswa yang memenuhi syarat sebagai berikut:
a. Pendaftaran pada sekolah ini pada tahun ajaran atau semester ini;
b. Setelah lulus mata pelajaran A.
2.    Pelajaran ini disusun bagi siswa kelas dua SMA yang mempunyai minat dalam kelompok bidang studi A1 (IPA kalau sekarang).
3.  Kursus ini disediakan bagi karyawan pemerintah atau perusahaan swasta yang memenuhi syarat sebagai berikut:
a.    Mempunyai ijazah minimal sarjana muda dalam bidang X atau setaraf;
b.    Telah pernah mengikuti dan lulus dalam kursus Y;
c.    Menguasai bahasa Inggris minimal secara pasif untuk membaca dan mendengarkan kuliah dalam bahasa Inggris.
Perumusan populasi sasaran seperti contoh tersebut di atas memang dapat membantu kelancaran penyelenggaraan kegiatan instruksional. Perumusan populasi ini biasanya diterapkan oleh lembaga pendidikan yang menyelenggarakan program pendidikan. Tetapi seorang pengembang instruksional masih perlu mencari informasi lebih jauh tentang kemampuan populasi sasaran yang dimaksud dalam menguasai setiap perilaku khusus yang telah dirumuskan dalam analisis instruksional. Anda masih ingat bukan? Perilaku-perilaku khusus itu tersusun secara hierarkikal, prosedural, pengelompokan, atau kombinasi kegiatannya atau dua di antaranya tingkat kemampuan populasi sasaran dalam perilaku-perilaku khusus itu perlu diidentifikasi agar pengembang instruksional dapat menentukan mana perilaku khusus yang sudah dikuasai siswa sehingga perlu diajarkan kembali, dan mana yang belum dikuasai siswa untuk diajarkan. Dengan demikian, pengembang instruksional dapat pula menentukan titik berangkat yang sesuai bagi siswa. (Suparman, 2004: 148)
Ada tiga macam sumber yang dapat memberikan informasi kepada pendesain instruksional, yaitu:
1.    Siswa atau calon siswa;
2.    Orang yang mengetahui kemampuan siswa atau calon siswa dari dekat seperti guru atau atasannya;  
3.    Pengelola program pendidikan yang biasa mengajar mata pelajaran tersebut.
Teknik yang digunakan dalam mengidentifikasi kebutuhan instruksional yaitu kuisioner, interview dan observasi, serta tes. Teknik tersebut dapat pula digunakan untuk mengidentifikasi perilaku awal siswa. Subjek yang memberikan informasi diminta untuk mengidentifikasi seberapa jauh tingkat penguasaan siswa atau calon siswa dalam setiap perilaku khusus melalui skala penilaian (rating scales).
Teknik yang dapat menghasilkan data yang lebih keras adalah tes penampilan siswa dan observasi terhadap pelaksanaan pekerjaan siswa serta tes tertulis untuk mengetahui tingkat pengetahuan siswa. Tetapi, bila tes seperti itu tidak tepat dilakukan karena dirasakan kurang etis, kesulitan teknik pelaksanaan, atau tidak mungkin dilakukan karena sebab yang lain, penggunaan skala penilaian cukup memadai. Skala penilaian tersebut diisi oleh orang-orang yang tahu secara dekat terhadap kemampuan siswa dan diisi oleh siswa sebagai self-report.
Berdasarkan masukan ini, dapat ditetapkan. Titik berangkat atau permulaaan perjalanan yang harus diberikan pada siswa. Titik itu adalah perilaku khusus di atas garis batas yang telah dikuasi siswa atau calon siswa.
Apa beda kegiatan ini dengan proses mengidentifikasi kebutuhan instruksional? Pertama, kebutuhan instruksional untuk mengidentifikasi benar tidaknya masalah yang dihadapi harus diselesaikan dengan menyelenggarakan kegiatan instruksional. Sedangkan mengidentifikasi perilaku awal tidak berhubungan dengan masalah tersebut. Kedua, kebutuhan intruksional untuk mengidentifikasi perilaku umum yang akan dijadikan tujuan instruksional umum. Sedangkan kegiatan mengidentifikasi  perilaku awal untuk mengidentifikasi perilaku khusus yang telah dikuasai siswa. Hasil akhir dari kegiatan mengidentifikasi perilaku awal ini akan dijadikan pedoman untuk menetapkan perilaku-perilaku khusus yang tidak perlu diajarkan lagi dan perilaku-perilaku khusus yang masih harus diajarkan. Dengan demikian hasil kegiatan tersebut dapat pula digunakan  untuk menetapkan titik berangkat dalam mengajar. (Suparman, 2004: 148)
Informasi yang diperoleh dari siswa, masyarakat, dan pendidik tidak selalu sejalan. Pengetahuan dan keterampilan yang dirasakan telah cukup dikuasai oleh siswa, adakalanya dinilai sebaliknya oleh sumber informasi yang lain. Demikian pula pengetahuan atau keterampilan yang dianggap tidak penting dan tidak relevan oleh siswa, mungkin dianggap sebaliknya oleh pendidik. Dalam hal seperti itu pengembang instruksional yang melakukan kegiatan identifikasi perilaku awal siswa menafsirkan data dengan lebih hati-hati. Walaupun pada dasarnya pengembang instruksional harus lebih memusatkan perhatian pada informasi yang diperoleh dari siswa, data dari sumber lain tidak dapat diabaikan begitu saja. Untuk data yang sulit ditafsirkan karena perbedaan pendapat berbagai pihak seperti yang digambarkan tadi, perlu diadakan pendekatan seminar atau pertemuan kecil yang diikuti berbagai pihak yang bersangkutan dan pengembang program agar dapat ditarik kesimpulan yang lebih tepat.

2. Karakteristik Awal Siswa
Di samping mengidentifikasi perilaku awal siswa, pengembang instruksional harus pula mengidentifikasi karakteristik siswa yang berhubungan dengan keperluan pe-ngembangan instruksional. Minat siswa pada umumnya, misalnya pada olahraga, karena sebagian besar siswa adalah penggemar olahraga, dapat dijadikan bahan dalam memberi-kan contoh dalam rangka penjelasan materi pelajaran. Kemampuan siswa yang kurang dalam membaca bahasa Inggris merupakan masukan pula bagi pengembang instruksional untuk memilih bahan-bahan pelajaran yang tidak berbahasa Inggris atau menerjemahkan-nya terlebih dahulu ke dalam bahasa Indonesia.
Demikian pula bila siswa senang dengan lelucon, pendesain instruksional sebaiknya mempertimbangkan penggunaan lelucon dalam strategi instruksionalnya. Bila siswa sebagian besar tidak mempunyai video di rumah, pedesain instruksional tidak dapat membuat program video untuk dipelajari siswa di rumah. Informasi di atas perlu dicari oleh pengembang instruksional sehingga ia dapat mengembangkan sistem instruksional yang sesuai dengan karakteristik siswa tersebut.
Teknik yang dapat digunakan dalam mengidentifikasi karakteristik awal siswa sama dengan teknik yang digunakan dalam mengidentifikasi perilaku awal, yaitu kuisioner, interview, observasi, dan tes. Tujuan untuk mengetahui karakteristik awal siswa adalah untuk mengukur apakah siswa akan mampu mencapai tujuan belajarnya atau tidak ; sampai dimana minat siswa terhadap pelajaran yang akan dipelajari. Bila si belajar mampu , hal-hal apa yang memperkuat, dan bila tidak mampu, hal-hal apa yang menjadi penghambat. Hal-hal yang perlu diketahui dari si pelajar bukan hanya dilihat faktor-faktor akademisnya, akan tetapi juga dilihat faktor-faktor sosialnya, sebab kedua hal tersebut sangat mempengaruhi proses belajar si pelajar.
Informasi yang dikumpulkan terbatas kepada karakteristik siswa yang ada manfaat-nya dalam proses pengembangan instruksional.


D. MENULISKAN TUJUAN INSTRUKSIONAL KHUSUS (TIK)

1. Pengertian Tujuan Instruksional Khusus
Tujuan Instruksional Khusus (TIK) merupakan terjemahan dari specific instructional objective. Literatur asing menyebutkannya pula sebagai objective, atau enabling objective, untuk membedakannya dengan general instructional objective, goal, atau terminal objective. Yang berarti tujuan instruksional umum (TIU) atau tujuan instruksional akhir.
Dalam program applied approach (AA) yang telah digunakan di perguruan tinggi seluruh Indonesia TIK disebut sasaran belajar (sasbel) (Suparman, 2004: 158). Sasbel menurut Soekartawi, Suhardjono dkk (1995: 41) adalah pernyataan tujuan instruksional yang sudah sangat rinci. sasaran belajar harus dituliskan dari segi kemampuan peserta didik. Artinya mengungkapkan perubahan apa yang diharapkan terjadi pada diri mahasiswa setelah mengikuti pengajaran pada satu pokok bahasan tertentu.
Dick dan Carey (1985) (dalam Suparman, 2004: 158) telah mengulas bagaimana Robert Mager mempengaruhi dunia pendidikan khususnya di Amerika untuk merumuskan TIK dengan sebuah kalimat yang jelas dan pasti serta dapat diukur. Perumusan tersebut berarti TIK diungkapkan secara tertulis dan diinformasikan kepada siswa atau mahasiswa dan pengajar mempunyai pengertian yang sama tentang apa yang tercantum dalam TIK.
Perumusan TIK harus dilakukan secara pasti artinya pengertian yang tercantum di dalamnya hanya mengandung satu pengertian dan tidak dapat ditafsirkan kepada bentuk lain. Untuk itu TIK harus dirumuskan ke dalam kata kerja yang dapat dilihat oleh mata.(Suparman, 2004: 159). Menurut Soedjarwo (1995: 81) Penulisan sasaran belajar sedikitnya menyatakan tentang: a). Isi materi dan bahasan b). Tingkat penampilan yang diharapkan c). Prasyarat pengungkapan hasil kerja. Tentunya secara ideal diharapkan peserta didik mendapatkan perubahan secara menyeluruh, baik dalam pengetahuan (kognitif), sikap (afektif), maupun keterampilan (motorik).
Tujuan instruksional dapat menjadi arah proses pengembangan instruksional karena di dalamnya tercantum rumusan pengetahuan, keterampilan dan sikap yang akan dicapai mahasiswa pada akhir proses instruksional. Keberhasilan siswa dalam mencapai tujuan tersebut merupakan ukuran keberhasilan sistem instruksional yang digunakan oleh pengajar.
Berdasarkan apa yang telah dikemukakan diatas maka dapat disimpulkan bahwa Tujuan Instruksional Khusus merupakan suatu rumusan yang menjelaskan apa yang ingin dicapai, atau menjelaskan perubahan yang terjadi sebagai akibat dari apa yang dipelajari oleh siswa.
2. Bagaimana Merumusakan Tujuan Instruksional Khusus
Tujuan instruksional khusus (TIK) antara lain digunakan untuk menyusun tes oleh karena itu TIK harus mengandung unsur-unsur yang dapat memberikan petunjuk kepada penyusun tes agar dapat mengembangkan tes yang benar-benar dapat mengukur perilaku yang berada di dalamnya.Dalam merumuskan TIK dapat dilakukan dengan menggunakan dua format yaitu format Merger dan ABCD format.
1. Format Merger
Merger merekomendasikan syarat-syarat untuk menentukan tujuan perilaku yang ingin dicapai dalam kegiatan pembelajaran.
a.    Mengidentifikasi tingkah laku terakhir yang ingin dicapai oleh pembelajar;
b.    Menentukan dalam kondisi bagaimana tingkah laku tersebut dapat dicapai;
c.    Membuat kriteria spesifik bagaimana tingkah laku tersebut dapat diterima.
Uraian di atas menunjukan bahwa Merger mengemukakan tujuan tersebut dirumuskan dengan menentukan bagaimana pembelajar harus melakukannya, bagaimana kondisinya, serta bagaimana mereka akan melakukannya. Dalam penjabaran TIK ini Merger melibatkan tiga aspek yaitu begaimana kondisi pencapaian tujuan, kriteria yang ingin dicapai, serta bagaimana tingkah laku pencapaiannya.
Merger mendiskripsikan audiense hanya sebagai murid atau pembelajar, dengan menggunakan sebuah format ”kamu akan bisa untuk”. Para desain pembelajaran yang menggunakan format Marger ini biasanya menggunakan ”SWABAT” yang berarti ”the student will be able to”.
2. Format ABCD
Menurut Knirk dan Gustafson dalam Hernawan (2005) dalam merumuskan tujuan instruksional khusus hendaknya harus mencakup unsur-unsur/komponen yang dikenal dengan singkatan ABCD (Audience, Behavior, Condition, Degree). Berikut ini penjelasan tentang komponen perumusan TIK.pada prinsipnya format ini sama dengan yang dikemukakan oleh Marger, namun pada bagian ini menambahkan dengan mengidentifikasi audiense, atau subjek pembelajar. Unsur– unsur tersebut dikenal dengan ABCD yang berasal dari empat kata sebagai berikut:
A = Audience
B = Behaviour
C = Condition
D = Degree
a. Audience
Audience merupakan siswa atau mahasiswa yang akan belajar, dalam hal ini pada TIK perlu dijelaskan siapa mahasiswa atau siswa yang akan belajar. Keterangan tentang siswa yang akan belajar tersebut harus dijelaskan secara spesifik mungkin, agar seseorang yang berada di luar populasi yang ingin mengikuti pelajaran tersebut dapat menempatkan diri seperti siswa atau mahasiswa yang menjadi sasaran dalam sistim instruksional tersebut.Contohnya: siswa kelas 1, siswa kelas 6  dan mahasiswa jurusan teknologi pendidikan  sebagainya.
b. Behavior
Merupakan perilaku atau kemampuan yang diharapkan, dikuasai siswa setelah mengikuti pembelajaran. Komponen ini terdiri atas kata kerja yang menunjukkan kemampuan yang harus ditampilkan siswa dan materi yang dipelajari siswa. Kemampuan tersebut dinyatakan dalam bentuk kata kerja operasional seperti menjelaskan, memberi, contoh, menyusun, membuat, merakit,menunjukkan, mengenal dan sebagainya. Contohnya: membuat larutan oralit, menunjukkan letak ibukota propinsi dan sebagainya.
c. Condition
Condition yaitu keadaan yang dipersyaratkan ketika siswa diminta menunjukkan atau men-demonstrasikan perilaku atau kemampuan yang diharapkan. Contohnya: “diberikan  sejumlah data, siswa dapat….”(ini berarti bahwa pada saat kita meminta siswa menunjukkan kemampuan tersebut kita harus menyediakan data)  atau  “dengan menggunakan rumus ABC, siswa dapat….” (ini berarti siswa dianggap sudah menguasai kemampuan tersebut apabila siswa melakukannya dengan menggunakan rumus ABC. Apabila tidak menggunakan rumus ABC berarti siswa belum menguasai tujuan tersebut).
d. Degree
Degree adalah tingkat ukuran yang dicapai untuk menentukan keberhasilan atau penguasaan siswa terhadap tingkah laku khusus yang ditetapkan. Tingkat keberhasilan ditunjukkan dengan batas minimal dari penampilan suatu perilaku yang dapat dianggap diterima. Contohnya: “siswa dapat menjelaskan lima karakteristik pemimpin yang demokratis” (siswa dianggap belum menguasai tujuan tersebut jika hanya mampu menjelaskan dua atau tiga karakteristik tersebut) atau  “siswa dapat menjelaskan dua alasan penting transmigrasi” (siswa dianggap belum menguasai tujuan tersebut bila siswa hanya mampu menjelaskan satu alasan saja).

E. MENYUSUN ALAT PENILAIAN HASIL BELAJAR
A.  Pengertian Tes Acuan Norma
Tes ini disusun untuk menentukan kedudukan atau posisi seseorang peserta tes diantara kelompoknya, bukan untuk menentukan tingkat penguasaan setiap peserta tes terhadap perilaku yang ada dalam TIK. Yang dimaksud dengan kelompoknya di sini adalah kelompok siswa dalam kelas, sekolah, propinsi, atau nasional. Karena maksud tes ini untuk menentukan kedudukan seseorang diantara kelompoknya, tes yang harus disusun adalah tes yang dapat membedakan antara peserta yang satu dengan yang lain, antara peserta yang lebih pandai dengan peserta yang kurang pandai.
Untuk menyusun tes seperti itu, perlu dipilih butir tes yang mempunyai daya pembeda tertentu, yaitu butir tes yang hanya bisa dijawab dengan benar oleh seluruh atau sebagian besar siswa yang lebih pandai dan tidak ada atau hanya sebagian kecil oleh siswa yang kurang pandai. Karena itu, apabila dalam uji coba ternyata seluruh siswa salah atau seluruh siswa benar untuk suatu butir tes, butir tes tersebut harus direvisi atau harus dibuang. Butir tes tersebut tidak dapat membedakan siswa yang lebih pandai dengan siswa yang kurang pandai. Demikian pula suatu butir tes dikatakan tidak mempunyai daya pembeda bila butir tes tersebut dapat dijawab oleh sejumlah siswa dari golongan yang pandai dan golongan kurang pandai dengan sama banyak, atau oleh siswa dari golongan pandai jumlahnya lebih sedikit dari siswa golongan kurang pandai.
Di samping harus mempunyai daya pembeda, butir tes acuan norma harus pula mempunyai tingkat kesulitan. Bila sebagian besar, misalnya 90% atau seluruh siswa dapat menjawab dengan benar dalam suatu butir tes, butir tes tersebut dianggap terlalu mudah. Keputusan yang diambil oleh penyusun tes acuan norma adalah mengubah atau membuang butir tes tersebut. Demikian pula jika suatu butir tes tidak dapat dijawab dengan benar oleh sebagian besar, misalnya 90% atau seluruh siswa, maka butir tes tersebut dianggap terlalu sulit. Hanya butir tes yang dapat dijawab dengan benar oleh 20-80% siswa yang disebut mempunyai tingkat kesulitan dapat diterima oleh penyusun tes acuan norma.
Pengukuran daya pembeda dan tingkat kesulitan butir tes harus dilakukan dalam uji coba sebelum digunakan di lapangan sesungguhnya. Siswa yang digunakan dalam uji coba harus setara dengan siswa yang akan mengikuti tes sesungguhnya.
Menyusun tes acuan norma lebih sulit daripada tes acuan patokan, karena tidak semua butir tes acuan patokan dapat digunakan dalam tes acuan norma. Walaupun suatu butir tes sangat relevan dengan TIK tertentu, bila ternyata dalam uji coba tergolong terlalu mudah, terlalu sulit atau tergolong mempunyai daya pembeda terlalu rendah, butir tes tersebut tidak dapat digunakan dalam tes acuan norma.
Maksud penyusunan tes acuan norma adalah menunjukkan kedudukan seorang peserta tes di antara kelompoknya, apakah peserta tersebut tergolong lebih pandai atau kurang pandai dibandingkan dengan rata-rata kelompok tersebut. Ataukah ia termasuk golongan sedang karena seharusnya tidak jauh di atas atau sedikit di bawah kelompoknya.
Di antara kedua jenis tes dan dua cara penafsiran yang telah dijelaskan di atas, tidak berarti yang satu lebih baik dari yang lain. Setiap tes tersebut tepat untuk tujuan masing-masing. Tes acuan patokan dan cara interpretasinya tepat untuk digunakan memberikan nilai yang menunjukkan penguasaan siswa dalam mata pelajaran tertentu. Tes dan cara interpretasi tersebut digunakan untuk memberi nilai dalam rapor, ijazah, dan nilai kemajuan siswa dalam setiap tahap pelajaran. Tes acuaan norma dan cara penafsirannya tepat digunakan untuk menentukan prestasi siswa diantara kelompoknya, misalnya dalam seleksi penerimaan pegawai yang akan memilih beberapa orang terbaik diantara beberapa ratus pelamar, dsb.

B. Persamaan dan perbedaan antara Tes Acuan Patokan dan Tes Acuan Norma
Gronlund dalam Atwi Suparman, M (2012) mengemukakan persamaan dan perbedaan dari tes acuan patokan dan tes acuan norma.
a) Persamaan antara Tes Acuan Patokan dan Tes Acuan Norma
i. Keduanya mempersyaratkan perumusan secara spesifik perilaku yang akan diukur
ii. Keduanya disusun dari sampel butir-butir tes yang relevan dan representative
iii. Keduanya menggunakam macam tes yang sama seperti tes subjektif, tes karangan, tes ketrampilan
iv. Keduanya menggunakan ketentuan yang sama dalam menulis butir tes, kecuali untuk kesulitan tes. Ini berarti keduanya sama-sama membutuhkan kalibrasi daya pembeda dan analisis option
v. Keduanya dinilai kualitasnya dari segi validitas dan reliabilitasnya
vi. Keduanya digunakan ke dalam pendidikan walaupun untuk maksud yang berbeda.

b) Perbedaan antara Tes Acuan Patokan dan Tes Acuan Norma


No Tes Acuan Norma Tes Acuan Patokan  
1 Mengukur sejumlah besar perilaku khusus dengan sedikit butir tes untuk setiap perilaku Mengukur perilaku khusus dalam jumlah terbatas dengan banyak butir tes untuk setiap perilaku  
2 Menekankan perbedaan diantara peserta tes dari segi tingkat pencapaian belajar secara relatif
Menekankan penjelasan tentang apa perilaku yang dapat dan yang tidak dapat dilakukan oleh setiap peserta tes  
3 Lebih mementingkan butir-butir tes yang mempunyai tingkat kesulitan sedang dan biasanya membuang tes yang terlalu mudah dan yang terlalu sulit Mementingkan butir-butir tes yang relevan dengan perilaku yang akan diukur tanpa peduli dengan tingkat kesulitannya  
4 Digunakan terutama (tetapi tidak khusus) untuk tes survai Digunakan terutama (tetapi tidak khusus) untuk tes penguasaan
 
5 Penafsiran hasil tes membutuhkan pendefinisian kelompok secara jelas
Penafsiran hasil tes membutuhkan pendefinisian perilaku yang diukur secara jelas dan terbatas.




C. Prosedur penyusunan Tes Acuan Patokan
Untuk menyusun tes acuan patokan pengembang instruksional perlu melakukan langkah-langkah seperti berikut :
1. Langkah pertama, menentukan maksud tes
Tes yang akan disusun oleh pengembang instruksional akan digunakan untuk dua maksud sebagai berikut :
a. Memberikan umpan balik bagi siswa tentang hasil belajar siswa tiap tahap proses belajarnya. Perlu disusun tes acuan patokan untuk mengukur pencapaian siswa setiap perilaku yang terdapat dalam TIK. Tes ini berfungsi sebagai tes formatif. Hasil tes dapat dijadikan petunjuk tentang kesulitan siswa dalam bagian-bagian tertentu dari bahan instruksional yang digunakan.
b. Menilai efektivitas sistem instruksional secara keseluruhan. Pengembang instruksional perlu menyusun tes acuan patokan yang dapat mengukur hasil belajar siswa dalam menguasai seluruh perilkau dalam TIU dan sampel perilaku dalam TIK. Tes ini digunakan sebagai tes awal dan tes akhir dalam uji coba sistem instruksional yang dikembangkan
2. Langkah kedua, Menyusun tabel spesifikasi
Tabel spesifikasi terdiri dari empat kolom, yaitu daftar perilaku, bobot perilaku, prosentase jenis tes, dan jumlah butir tes.
3. Langkah ketiga, menulis butir tes
Berdasarkan daftar spesifikasi yang telah disusun, pendesain instruksional mulai menulis butir-butir tes. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam menulis setiap butir tes adalah :
a) Macam dan jumlah tes sesuai dengan tabel spesifikasi
b) Menggunakan komponen kondisi dalam TIK sebagai dasar dalam menyusun pertanyaan
c) Setiap selesai menulis satu butir tes, mengadakan koreksi apabila siswa dapat menjawab pertanyaan atau melakukan perilaku yang dikehendaki oleh butir tes dengan benar, apakah siswa berarti telah mampu melakukan atau menguasai perilaku aeperti yang tercantum dalam TIK ? Bila jawabnya ragu-ragu maka butir tes harus direvisi. Hal ini perlu dilakukan karena merupakan kunci validitas isi suatu tes.
d) Perhatikan kesesuaian butir tes dengan TIK.
Setelah selesai menulis seluruh butir tes, pendesain instruksional harus memeriksa kembali apakah bobot tes atau kelompok butir tes itu telah sesuai dengan bobot presentase yang ditentukan dalam tabel spesifikasi.
4. Langkah keempat, merakit tes
Butir tes yang telah selesai ditulis dikelompokkan atas dasar jenis kemudian diberi nomor urut 1 sampai seterusnya.
5. Langkah kelima, menulis petunjuk
Setiap jenis tes diberi petunjuk untuk siswa tentang menuliskan jawabannya. Siswa juga diberi petunjuk tentang waktu yang diperlukan untuk menjawab atau menyelesaikan seluruh tes tersebut. Petunjuk harus sederhana, singkat tetapi jelas.
6. Langkah keenam, menulis kunci jawaban
Kunci jawaban untuk setiap butir tes perlu dipersiapkan untuk digunakan pemberi skor atau orang yang memeriksa dan menilai hasil jawaban siswa. Kunci jawaban menunjukkan dua hal, yaitu jawaban yang benar dan cara pemberian skor untuk setiap butir tes.
7. Langkah ketujuh, mengujicobakan tes
Tes perlu diujicobakan untuk melihat beberapa hal penting berikut lnl :
a) Kualitas setiap butir tes
b) Kejelasan dan kesederhanaan petunjuk cara menjawab
c) Kemudahan siswa memahami setiap pertanyaan
d) Kelengkapan alat-alat yang perlu dibawa siswa misalnya kalkulator, tabel, pensil, dan alat tulis lainnya.
e) Kesesuaian waktu yang dibutuhkan siswa dengan yang ditetapkan dalam tes tersebut.
f) Kejelasan dan kebersihan pengetikan
g) Langkah kedelapan, menganalisis hasil uji coba
Hasil uji coba tes dapat diolah dalam dua bagian penting, yaitu :
a) Kualitas setiap butir tes
b) Kualitas teknik penulisan dan kualitas fisik
9. Langkah kesembilan, merevisi tes.
Tes yang telah diujicobakan direvisi seperlunya menurut hasil uji coba. Apabila revisi tes itu secara keseluruhan cukup besar, sebaiknya tes baru tersebut diujicobakan lagi.



D. Menggunakan Tes Acuan Patokan
Penyusunan tes digunakan dalam tiga hal sebagai berikut :
a) Mengukur tingkat pencapaian siswa setelah menyelesaikan seluruh proses instruksional untuk suatu mata pelajaran atau kursus. Tes itu disebut tes akhir (post test)
b) Mengukur tingkat penguasaan siswa sebelum dimulai proses instruksional. Tes ini disebut tes awal (pretest)
c) Mengetahui kemajuan siswa selama proses instruksional. Dengan mengetahui kemajuan siswa, pengajar diharapkan dapat mengambil keputusan untuk terus mengajarkan bagian selanjutnya atau harus mengulang dulu bagian yang baru lalu, karena bagian ini belum dikuasai siswa. Keputusan ini sangat penting artinya terutama bila pengajar sedang mengajarkan perilaku prasyarat. Pelaksanaan tes penting bagi siswa sebagai umpan balik atas kemajuan yang telah dibuatnya setiap selesai mempelajari suatu bagian pelajaran Tes ini disebut tes formatif.

F. MENYUSUN STRATEGI INSTRUKSIONAL

A.   Pengertian Strategi Instruksional
           Secara umum strategi mempunyai pengertian suatu garis-garis besar haluan untuk bertindak dalam usaha mencapai sasaran yang telah ditentukan.Jika dihubungkan dengan pembelajaran, strategi dapat diartikan sebagai pola-pola umum kegiatan guru dan peserta didik dalam perwujudan pembelajaran untuk mencapai tujuan yang telah digariskan (Trianto, 2007).
           Pembelajaran adalah sebuah proses komunikasi antara pembelajar, pengajar dan bahan ajar. Pengertian strategi pembelajaran atau instruksional secara detail diungkapkan oleh Suparman (2004), bahwa strategi instruksional merupakan perpaduan dari urutan kegiatan, cara pengorganisasian materi pelajaran dan peserta didik, peralatan dan bahan, serta waktu yang digunakan dalam proses instruksional untuk mencapai tujuan instruksional yang telah ditentukan.
Dick  dan  Carey  (1985) mengatakan bahwa suatu strategi instruksional menjelaskan komponen-komponen umum dari suatu strategi bahan instruksional dan prosedur-prosedur yang akan digunakan bersama bahan-bahan tersebut untuk menghasilkan hasil belajar tertentu pada mahasiswa.
Dari beberapa pendapat ahli tersebut diatas, maka dapat disimpulkan bahwa strategi instruksional adalah merupakan perpaduan dari urutan kegiatan, cara pengorganisasian materi pelajaran dan peserta didik, peralatan dan bahan, serta waktu yang digunakan dalam proses instruksional untuk mencapai tujuan instruksional yang telah ditentukan.

B.   Komponen dan Subkomponen Pengembangan Strategi Instruksional
Menurut  Suparman (2004)  terdapat empat komponen utama strategi instruksional yaitu, urutan kegiatan, metode, media dan waktu. Sedangkan Dick dan Carey dalam suparman  (2004) mengatakan terdapat   lima komponen  dalam  strategi  instruksional yang terdiri: Kegiatan pra-instruksional, penyajian informasi, partisipasi  siswa, tes, dan tindak lanjut.

a. Komponen Urutan Kegiatan
           Suparman (2004) mengatakan Komponen urutan kegiatan dalam strategi instruksional terdiri dari pendahuluan, penyajian dan penutup.

1. Subkomponen pendahuluan
Subkomponen pendahuluan merupakan kegiatan awal dari kegiatan instruksional  dimaksudkan untuk mempersiapkan peserta didik agar secara mental siap mempelajari pengetahuan, keterampilan, dan sikap baru. Sub komponen pendahuluan  terdiri dari tiga langkah berikut:
a)    Penjelasan singkat tentang isi pelajaran
          Pada babak permulaan pelajaran, peserta didik ingin segera mengetahui apa yang akan dipelajari , keinginantahuan tersebut akan terpenuhi bila pengajar menjelaskan secara singkat, sehingga pada fase ini peserta didik telah mendapat gambaran secara global tentang isi pelajaran yang akan dipelajari.
b)     Penjelasan relevansi isi pelajaran baru dengan pengalaman peserta didik.
   Peserta didik akan cepat mempelajari sesuatu apabila dikaitkan dengan apa yang telah diketahui sebelumya, pada tahapan inilah peserta didik diberikan informasi mengenai relevansi kegiatan isi pelajaran yang akan dipelajarinya dengan pengetahuan, keterampilan atau sikap yang telah dikuasainya.

c)     Penjelasan tentang tujuan instruksional.
     Pada tahapan ini peserta didik akan mendapatkan informasi mengenai tujuan instruksional yang dikuasai peserta didik setelah mendapatkan pembelajaran. Pengetahuan tentang tujuan instruksional akan meningkatkan motivasi peserta didik selama proses belajarnya.
           Dalam bentuk bagan, subkomponen pendahuluan dapat digambarkan sebagai berikut:

URUTAN KEGIATAN PENDAHULUAN METODE MEDIA WAKTU  
Deskripsi Singkat  
Relevansi  
TIK
1.1 Tabel komponen pendahuluan dan langkah-langkahnya.

2.    Sub komponen penyajian
Sub komponen penyajian merupakan inti dari  pengajaran yang disampaikan oleh guru kepada peserta didik. Didalam sub komponen penyajian terdiri dari tiga langkah, yaitu:
1.      Uraian
        Uraian merupakan penjelasan tentang materi pelajaran atau konsep, prinsip, dan prosedur yang akan dipelajari siswa
2.      Contoh
        Contoh adalah benda atau kegiatan yang terdapat dalam kegiatan siswa sebagai wujud dari materi pengajaran yang sedang diuraikan
3   Latihan
              Latihan merupakan kegiatan siswa dalam rangka menerapkan konsep, prinsip, atau prosedur yang sedang dipelajarinya kedalam praktik yang relevan dengan pekerjaan dan kehidupan sehari-hari.





Dalam bentuk bagan komponen penyajian ini tampak sebagai berikut:

URUTAN KEGIATAN PENYAJIAN METODE MEDIA WAKTU  
Uraian  
Contoh  
Latihan
1.2 Tabel komponen Penyajian dan langkah-langkah di dalamnya

3.    Sub komponen penutup
Sub komponen penutup adalah urutan kegiatan terakhir dari kegiatan instruksional. Sub komponen penutup terdiri dari dua langkah yaitu:
1.      Tes formatif dan umpan balik
Tes formatif adalah satu set pertanyaan untuk dijawab atau seperangkat tugas untuk dilakukan untuk mengukur kemajuan belajar peserta didik setelah menyelesaikan suatu tahapan pelajaran.
2.      Tindak lanjut.
Tindak lanjut merupakan kegiatan yang dilakukan peserta didik setelah melakukan tes formatif dan umpan balik. Peserta didik yang telah tuntas belajar akan melanjutkan ke bagian pelajaran selanjutnya, dan peserta didik yang belum tuntas harus mengulangi isi pelajaran tersebut dengan menggunakan bahan instruksional yang sama atau berbeda.
Gagne dan  Briggs  (1979) dalam Suparman (2004)  menyebutnya sebagai  sembilan urutan kegiatan instruksional, yaitu :
1.         Pemberian motivasi atau menarik perhatian;
2.         Penjelasan TIK;
3.         Mengingatkan kompetensi prasyarat;
4.         Pemberian stimulus (masalah, topik, konsep);
5.         Memberikan petunjuk belajar;
6.         Menimbulkan penampilan siswa;
7.         Umpan balik;
8.         Penilaian  penampilan
9.         Menyimpulkan
Sebagian pelajaran hanya menggunakan beberapa urutan kegiatan instruksional diantara urutan kegiatan tersebut, tergantung pada karakteristik mahasiswa dan perilaku yang ada dalam tujuan instruksional. Pengurangan dari Sembilan urutan tersebut masih dimungkinkan sepanjang alas an secara rasional jelas.

b.  Komponen Metode Instruksional
           Salah satu metode instruksionl pada strategi intruksional di luar urutan kegiatan instruksional adalah metode intruksional.Komponen metode instruksional terdiri dari beberapa metode yang digunakan dalam setiap langkah pada urutan kegiatan instruksional. Setiap langkah mungkin menggunakan satu atau beberapa metode atau mungkin pula setiap langkah menggunakan metode yang sama. Tidak semua metode instruksional sesuai untuk digunakan dalam mencapai tujuan instruksional tertentu. Oleh karena itu, seorang pengembang instruksional  harus memilih metode yang sesuai untuk setiap TIK yang ingin dicapai. Metode instruksional berfungsi sebagai cara dalam menyajikan (menguraikan, memberi contoh, dan memberi latihan) isi pelajaran kepada peserta didik untuk mencapai tujuan tertentu. Berbagai metode berikut ini biasnya digunakan pengajar dalam kegiatan instruksional.
Berbagai metode yang digunakan dalam kegiatan instruksional antara lain:
1. Metode Ceramah (lecture)
Metode ceramah berbentuk penjelasan pengajar kepada siswa dan biasanya diikuti dengan Tanya jawab tentang isi pelajaran yang belum jelas.

Beberapa kelebihan metode ceramah adalah :
1.       Guru mudah menguasai kelas.
2.       Guru mudah menerangkan bahan pelajaran berjumlah besar.
3.       Dapat diikuti anak didik dalam jumlah besar.
4.       Mudah dilaksanakan.
Beberapa kelemahan metode ceramah adalah :
1.      Membuat siswa pasif.
2.      Mengandung unsur paksaan kepada siswa.
3.      Mengandung daya kritis siswa.
4.      Anak didik yang lebih tanggap dari visi visual akan menjadi rugi dan anak didik yang lebih tanggap auditifnya dapat lebih besar menerimanya.
5.      Sukar mengontrol sejauhmana pemerolehan belajar anak didik.
6.      Kegiatan pengajaran menjadi verbalisme (pengertian kata-kata).
7.      Bila terlalu lama membosankan.(Syaiful Bahri Djamarah, 2000)

2. Metode  Demonstrasi
Metode  Demonstrasi digunakan untuk mendemontrasikan penggunaan alat atau melaksanakan kegiatan tertentu seperti kegiatan sesungguhnya. Metode demonstrasi adalah metode mengajar dengan cara memperagakan barang, kejadian, aturan, dan urutan melakukan suatu kegiatan, baik secara langsung maupun melalui penggunaan media pembelajaran yang relevan dengan pokok bahasan atau materi yang sedang disajikan. Kelebihan  dari metode demonstrasi adalah:
1.    Perhatian siswa dapat lebih dipusatkan.
2.    Proses belajar siswa lebih terarah pada materi yang sedang dipelajari.
3.    Pengalaman dan kesan sebagai hasil pembelajaran lebih melekat dalam diri siswa.
4.    Kelebihan metode demonstrasi sebagai berikut:
5.    Membantu anak didik memahami dengan jelas jalannya suatu proses atau kerja suatu benda.
6.    Memudahkan berbagai jenis penjelasan.
7.    Kesalahan-kesalahan yang terjadi dapat diperbaiki melalui pengamatan  dan contoh konkret, dengan menghadirkan objek sebenarnya.
Kekurangan metode demonstrasi adalah anak didik terkadang sukar melihat dengan jelas benda yang akan dipertunjukkan, kurangnya pemahaman siswa tentang kegunaan benda yang dipertunjukkan.

3. Metode Penampilan/praktik
Metode Penampilan/praktik berbentuk pelaksanaan praktik oleh siswa di bawah supervisi dari dekat oleh pengajar. Untuk menggunakan metode ini pengajar harus :
1.    Memberikan penjelasan yang cukup kepada siswa selama siswa berpraktik.
2.    Melakukan tindakan pengamanan sebelum kegiatan praktik dimulai untuk keselamatan siswa dan alat-alat yang digunakan.
3.    Metode penampilan tepat digunakan bila :
4.    Pelajaran telah mencapai tingkat lanjutan.
5.    Kegiatan instruksional bersifat formal, latihan kerja, atau magang.
6.    Siswa mendapat kemungkinan untuk menerapkan apa yang dipelajarinya ke dalam situasi sesungguhnya.
7.    Kondisi praktik sama dengan kondisi kerja.
8.    Dapat disediakan bimbingan kepada siswa secara dekat selama praktik.
9.    Keterbatasan penggunaaan metode penampilan adalah :
10. Membutuhkan waktu panjang, karena siswa harus mendapatkan kesempatan berpraktik sampai baik.
11. Membutuhkan fasilitas dan alat khusus yang mungkin mahal, sulit diperoleh, dan dipelihara secara terus menerus.
12. Membutuhkan pengajar yang lebih banyak, karene setiap pengajar hanya dapat membantu sejumlah kecil siswa.

4. Metode Diskusi
Metode Diskusi adalah interaksi antara siswa dari siswa atau siswa dengan pengajar untuk menganalisis, atau memperdebatkan topic atau permasalahan tertentu. Metode diskusi diaplikasikan dalam proses belajar mengajar untuk :
1.       Mendorong siswa berpikir kritis.
2.       Mendorong siswa mengekspresikan pendapatnya secara bebas.
3.       Mendorong siswa menyumbangkan buah pikirnya untuk memecahkan masalah bersama.
4.       Mengambil satu alternatif jawaban atau beberapa alternatif jawaban untuk memecahkan masalah berdsarkan pertimbangan yang seksama.
Kelebihan metode diskusi sebagai berikut :
1.       Menyadarkan anak didik bahwa masalah dapat dipecahkan dengan berbagai jalan
2.       Menyadarkan anak didik bahwa dengan berdiskusi mereka saling mengemukakan pendapat secara konstruktif sehingga dapat diperoleh keputusan yang lebih baik.
3.       Membiasakan anak didik untuk mendengarkan pendapat orang lain sekalipun berbeda dengan pendapatnya dan membiasakan bersikap toleransi.
Kelemahan metode diskusi sebagai berikut :
1.       Peserta diskusi mendapat informasi yang terbatas.
2.       Tidak dapat dipakai dalam kelompok yang besar.
3.       Dapat dikuasai oleh orang-orang yang suka berbicara.
4.       Biasanya orang menghendaki pendekatan yang lebih formal.


5. Metode Studi Mandiri
Metode Studi Mandiri berbentuk pelaksanaan tugas membaca atau penelitian oleh mahasiswa tanpa bimbingan atau pengajaran khusus. Metode ini dilakukan dengan cara :
1.    Memberikan daftar bacaan kepada siswa yang sesuai dengan kebutuhannya.
2.    Menjelaskan hasil yang diharapkan dicapai oleh siswa pada akhir kegiatan studi mandiri.
3.    Mempersiapkan tes untuk menilai keberhasilan siswa.
Penerapan metode ini adalah :
1.       Pada tahap akhir proses belajar.
2.       Dapat digunakan pada semua mata pelajaran.
3.       Menunjang metode pembelajaran yang lain.
4.       Meningkatkan kemampuan  kerja siswa.
5.       Mempersiapkan siswa untuk kenaikan tingkat atau jabatan.
6.       Memberi kesempatan kepada siswa untuk memperdalam minatnya tanpa dicampuri  siswa lain.

6. Metode  Kegiatan instruksional Terprogram
Metode  Kegiatan instruksional Terprogram  menggunakan bahan instruksional yang disiapkan secara khusus. Untuk menggunakan metode ini perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut:
1. Siswa harus benar-benar memiliki seluruh bahan, alat-alat dan perlengkapan lain yang dibutuhkan untuk menyelesaikan pelajaran tersebut.
2. Siswa harus benar-benar tahu bahwa bahan itu bukan tes. Respon yang harus dibuat siswa selama proses belajarnya dimaksudkan untuk membantu belajar, bukan untuk dijadikan dasar penilaian dalam mata pelajaran tersebut.
3. Tersedia sumber yang dapat membantu siswa bila mengalami kesulitan.
4. Secara periodik, siswa harus dicek kemampuannya untuk membuatnya benar-benar belajar.
Metode ini diterapkan untuk :
1. Kurang mendapatkan interaksi sosial.
2. Semua tahap belajar, dari permulaan sampai dengan proses akhir belajar siswa.
3. Pelajaran formal, belajar jarak jauh, dan magang.
4. Mengatasi kesulitan perbedaan individual.
5. Mempermudah siswa belajar dalam waktu yang diinginkan.
Metode ini  memiliki kelemahan sebagai berikut :
1. Bahan pelajaran yang telah dikumpulkan dengan baik membuat siswa melalui urutan kegiatan belajar yang sama. Hal ini  membuat metode kurang fleksibel.
2. Biaya pengembangan tinggi.
3. Siswa kurang mendapat interaksi sosial.

7. Metode Latihan dengan Teman
Memanfaatkan seorang yang telah lulus dalam latihan tertentu untuk bertindak sebagai pelatih bagi seorang mahasiswa lain. Untuk menggunakan metode ini perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut:
1.       Mula-mula seorang siswa memperhatikan siswa yang lain yang telah mencapai tingkat lanjut dalam melaksanakan semua tugas di bawah supervisi pelatih.
2.       Setelah mengenal tugas tersebut, siswa dilatih dalam keterampilan melakukannya.
3.       Setelah lulus tes, ia menjadi pelatih untuk siswa berikutnya.
Metode ini dapat dilaksanakan apabila semua tahap yang membutuhkan latihan satu persatu dan latihan kerja, latihan formal dan magang.
Metode ini memiliki kelemahan sebagai berikut :
1. Terbatasnya siswa yang dapat dilatih dalam satu periode tertentu.
2. Kegiatan latihan harus senantiasa dikontrol secara langsung untuk memelihara kualitas.

8. Metode Simulasi
Metode ini menampilkan simbol-simbol atau peralatan yang menggantikan proses, kejadian, atau benda yang sebenarnya. Metode simulasi adalah metode yang diberikan kepada siswa, agar siswa dapat menggunakan sekumpulan fakta, konsep, dan strategi tertentu.Penggunaan metode tersebut memberi kesempatan kepada siswa untuk berinteraksi sehingga dapat mengurangi rasa takut.Metode simulasi cenderung lebih dinamis dalam menanggapi gejala fisik dan sosial, karena melalui metode ini seolah-olah siswa melakukan hal-hal yang nyata ada. Dengan mensimulasikan sebuah kasus atau permasalahan, seseorang akan lebih menjiwai keberadaannya.
Kebaikan metode simulasi antara lain adalah:
1.    Metode ini dapat mempelajari situasi yang nyata.
2.    Bisa membuat siswa belajar dari umpan balik yang datang dari dirinya sendiri.
3.    Bisa melatih siswa dalam mensimulasikan sesuatu sehingga siswa menjadi lebih berani.
4.    Siswa dapat lebih menggunakan sekumpulan fakta dan konsep.
 Kelemahan metode simulasi antara lain:
1.    Bagi siswa yang penakut penerapan metode ini menjadi hal yang tidak menyenangkan sehingga enggan untuk bersimulasi.
2.    Sebaliknya bagi siswa yang pandai, dan yang senang berbicara cenderung menguasai proses simulasi.
3.    Bagi siswa yang susah mengeluarkan pendapat hal ini merupakan, metode yang paling menyusahkan.

9. Metode  Sumbang pendapat atau sumbang saran (Brainstorming)
Proses penampungan pendapat dari siswa tanpa evaluasi terhadap kualitas pendapat tersebut. Metode ini tepat digunakan untuk meningkatkan partisipasi siswa dalam mengajukan pendapatnya. Tetapi, metode ini dapat menimbulkan frustasi di kalangan siswa, karena mereka tidak menemukan konsensus pada akhir proses tersebut. Akan  tetapi guru dapat mengambarkan bahwa yang diminta adalah buah fikiran dengan alasan-alasan rasional.

10. Metode Studi kasus
Berbentuk penjelasan tentang masalah,kejadian, atau situasi tertentu, kemudian siswa ditugaskan mencari alternatif pemecahannya. Kesulitan penggunaan metode ini adalah:
1.    Mendapat kasus yang tealh ditulis dengan baik sebagai hasil penelitian lapangan dan sesuai dengan lingkungan kehidupan siswa.
2.    Mengembangkan kasus sangat mahal.


11. Metode  Computer Assisted Learning (CAL)
Metode ini berbentuk suatu seri kegiatan belajar yang sangat berstruktur dengan menggunakan computer.Metode ini dapat digunakan pada setiap tingkat pengetahuan dari yang sederhana sampai dengan yang paling kompleks. Kesulitan penggunaan  metode ini :
1.    Pengembangan program CAL membutuhkan biaya tinggi dan waktu lama.
2.    Pengadaan dan pemeliharaan alat yang mahal.

12. Metode Insiden
Merupakan variasi dari metode studi kasus.Siswa dibekali dengan data dasar yang tidak lengkap tentang kejadian atau peristiwa.Kelebihan metode ini dari metode studi kasus adalah siswa belajar menyusun dan menyelami masalah lebih dahulu sebelum belajar berpikir kritis untuk mencari pemecahannya.

13. Metode Praktikum
Berbentuk pemberian tugas kepada siswa untuk menyelesaikan suatu proyek dengan berpraktik dan menggunakan instrumen tertentu

14. Metode proyek
Berbentuk pemberian tugas kepada  semua siswa untuk dikerjakan secara individual. Metode ini bertujuan membentuk analisis masing-masing siswa.

15. Metode bermain peran
Berbentuk interaksi antara dua atau lebih siswa tentang suatu topik atau situasi. Metode sosiodrama (role playing) adalah suatu cara menyajikan bahan pelajaran dengan mendramasisasikan tingkah laku dalam hubungan social dengan suatu problem, agar peserta didik dapat memecahkan masalah sosial. Metode sosiodrama adalah metode yang bertujuan untuk mempertunjukkan suatu perbuatan dari suatu pesan yang ingin disampaikan dari peristiwa yang pernah dilihat.Metode ini juga menjadikan siswa menjadi senang, sedih, tertawa jika pemerannya bisa menjiwai dengan baik.Seringkah Anda melakukan?



16. Metode Seminar
Berbentuk kegiatan belajar bagi sekelompok siswa untuk membahas topik atau masalah tertentu.

17. Metode simposium
Mengetengahkan suatu seri ceramah mengenai berbagai kelompok topik dalam bidang tertentu.

18. Metode Tutorial
Berbentuk pemberian bahan belajar yang telah dikembangkan untuk dipelajari siswa secara mandiri dan kesempatan berkonsultasi secara perodik tentang kemajuan dan masalah yang dialaminya.

19. Metode Deduktif
Dimulai dengan pemberian penjelasan tentang prinsip-prinsip isi pelajaran, kemudian disusul dengan penerapannya atau contoh-contohnya pada situasi tertentu. Metode ini tepat digunakan bila :
1.    Siswa telah  mengenal  atau telah mempunyai pengalaman yang berhubungan dengan mata pelajaran tersebut.
2.    Yang diajarkan berupa keterampilan komunikasi antara pribadi, sikap, pemecahan, dan pengambilan keputusan.
3.    Pengajar mempunyai keterampilan mendengarkan yang baik, fleksibel, terampil mengajukan pertanyaan, terampil mengulang pernyataan dan sabar.
4.    Waktu yang tersedia cukup panjang.

20. Metode  Induktif
Dimulai dengan pemberian berbagai kasus, fakta, contoh, atau sebab yang mencerminkan suatu konsep atau prinsip, kemudian, siswa dibimbing untuk berusaha keras mensintetis, menemukan, atau menyimpulkan prinsip dasar dari pelajaran tersebut. Metode ini tepat digunakan bila :
1.       Belum  mengenal pengetahuan yang sedang dipelajari.
2.       Isi pelajaran meliputi terminologi, teknis dan bidnag yang kurang membutuhkan proses berpikir kritis.
3.       Pengajaran mengenai pelajaran tersebut mempunyai persiapan yang baik dan pembicara yang baik, serta waktu yang tersedia singkat.


c. Komponen Media Instruksional
           Media adalah alat yang digunakan untuk menyampaikan pesan dri suatu materi atau isi pelajaran dari pengajar ke pembelajar. Media digunakan dalam kegiatan instruksional karena memiliki berbagai kemampuan, kemampuan tersebut adalah sebagai berikut:
1.       Memperbesar benda yang sangat kecil dan tidak ttampak oleh mata telanjang menjadi lebih besar, seperti contoh Mikroskop.
2.       Menyajikan benda atau peristiwa yang terletak jauh dari peserta didik. Seperti halnya isi bumi, tempat wisata, salju, dan lain-lain.
3.       Menyajikan peristiwa yang kompleks, rumit dan berlangsung sangat cepat atau sangat lambat menjadi lebih sistematis dan sederhana, contoh peristiwa balap motor, berkerjanya mesin, dan lain-lain.
4.       Menampung sejumlah besar mahasiswa untuk mempelajari materi pelajaran dalam waktu yang sama, seperti penggunaan televisi atau audio visual yang menyajikan suatu materi.
5.       Menyajikan benda atau peristiwa berbahaya kehadapan peserta didik, seperti pemutaran video terjadinya gunung meletus.
6.       Meningkatkan daya tarik pelajaran dan perhatian peserta didik, seperti penggunaan gambar yang menari  peserta didik.
7.       Meningkatkan sistematis pengajaran, seperti transparasi, kaset audio dan lain-lain. Penggunan media selalu didahului dengan persiapan perencanaan untuk digunakan dalam proses belajar.
Media yang digunakan dalam kegitan instruksional beraneka ragam. Pengembangan instruksional dapat memilih salah satu diantara beberapa media yang akan  digunkan dan yang pasti lebih mempunyai nilai yang tinggi dan cocok untuk penggunaannya.
Dalam pemilihan media yang akan digunakan, minimal tahu bagaimana cara pemilihan. Jika dilihat dari konteks matriks rendah, sedang dan tinggi, yang matriknya sebagai berikut:


 Macam belajar




Jenis media Belajar
Informa-si
faktual Belajar
Pengenal-an visual Belajar konsep, prinsip, dan aturan Belajar
prosedur Menyaji-kan ketermpil-an persepsi gerak Mengem-bangkan sikap, opini dan motivasi  
Gambar Diam
Gambar Hidup
Televisi
Objek 3D
Rekaman audio
Programed instruction
Demonstrasi
Buku teks tercetak
Sajian oral Sedang
Sedang
Sedang
Rendah
Sedang

Sedang

Rendah
Sedang

Sedang
Tinggi
Tinggi
Sedang
Tinggi
Rendah

Sedang

Sedang
Rendah

Rendah
Sedang
Tinggi
Tinggi
Rendah
Rendah

Sedang

Sedang
Rendah

Rendah
Sedang
Tinggi
Sedang
Rendah
Sedang

Tinggi

Tinggi
Sedang

Sedang Rendah
Sedang
Rendah
Rendah
Rendah

Rendah

Sedang
Rendah

Rendah Rendah
Sedang
Sedang
Rendah
Sedang

Sedang

Sedang
Sedang

sedang

1.3 tabel pemilihan media menurut matriks rendah, sedng, tinggi.

           Untuk menggunakan tabel matrik di atas, maka harus diketahui dahulu apa tujuan dari kegiatan instruksional tersebut. Dalam tujuan instruksional tersebut mungkin terkandung salah satu atau beberapa macam belajar, seperti:
1.    Belajar pengenlan visual.
2.    Belajar informasi faktual.
3.    Belajar konsep, aturan, dan prinsip.
4.    Belajar prosedur.
5.    Beljar menyajikan keterampilan atau gerak.
6.    Belajar mengembangkan sikap, opini, dan motivsi.
Setelah mengidentifiksi macam belajar yang terkandung dalam tujuannya, maka pilih media yang sesuai dengan macam belajar tersebut dengan cara melihat fungsi tabel di atas. Dalam proses pemilihan media pengembangan instruksional mungkin dapat mengidentifikasi beberapa media yang sesuai untuk tujuan instruksional tertentu. Langkah selanjutnya adalahmemilih salah satu atau dua media diantaranya atas dasar pertimbangan:
1.    Biaya lebih murah, baik saat pembelian maupun perwatan.
2.    Kesesuaian dengan metode instruksional.
3.    Kesesuaian dengn karakteristik pesert didik.
4.    Pertimbangan praktis.
5.    Ketersediaan media.
Jenis media harus dipilih berdasarkan kriteria utama, yaitu kesesuaian dengan tujuan instruksional dan lima tambahan tentang pertimbangan penggunaannya.

d. Komponen Waktu
           Komponen terakhir dari strategi instruksional adalah waktu, yaitu jumlah waktu dalam menit yang dibutuhkan oleh pengajar dan peserta didik untuk menyelesaikan langkah setiap urutan kegiatan instruksional.Jumlah waktu yang dibutuhkan untuk mengajar, terbatas kepada waktu yang digunkan pertemuan kepada pesert didik.Waktu untuk pesert idik adalah jumlah waktu yang digunakan dalam pertemuan dengan pengajar ditambah dengan waktu untuk melaksanakan tugas yang berhubungan dengan mata pelajaran diluar pertemuan dengan pengajar.
Menghitung jumlah waktu yang digunakan oleh pengajar penting, artinya bagi pengajar sendiri dalam pengelolaan waktu kegiatan instruksional.Seorang pengajar harus dapat membagi bagaimana membagi waktu untuk setiap langkah dalam pendahuluan, penyajian, dan penutup.Bagi pengelola program pendidikan, penghitungan jumlah waktu ini dapat digunakan untuk mengatur jadwal pertemuan dan menentukan jangka waktu program secara keseluruhan.
           Menghitung jumlah waktu peserta didik juga penting, artinya bagi berbagai pihak.Bagi peserta didik jumlah waktu itu merupakan petunjuk dalam mengelola waktu belajarnya. Bagi pengelola program pendidikan julah waktu yang  dibutuhkan merupakan petunjuk tentang bobot mata pelajran yang akan diberikan.
           Penentuan waktu yang dibutuhkan pengajar dan peserta didik pada setiap langkah dalam urutaan kegiatan instruksional merupakan salah saatu pembatasan bagi pengajar dan peserta didik bahwa tujuan instruksional akaan dapat dicapai bila mereka dapat memenuhinya.

C.   Menyusun Strategi Instruksional
           Penyusunan strategi instruksional haruslah didasarkan oleh tujuan yang akan dicapai sebagai kriteria utama. Di sampig itu haruslah dengan pertimbangan lain, yaitu hambatan yang mungkin dihadapi pengembang instruksional, atau pengajar seperti waktu, biaya dan fasilitas. Setiap urutan kegiatan seperti DRT (deskripsi singkat, relevansi, dan TIK) – UCL (uraian, contoh, latihan) – TUT (tes fomatif, umpan balik, tindak lanjut) atau urutan lainnya, selalu diikuti pemilihan metode dan media serta penentuan waktu untuk mencapai tujuan instruksional khusus.
Khusus penentuan waktu bagi setiap kegiatan, pengembangan instruksional, di samping menggunakan kegiatan sebagai suatu kriteria, ia menggunakan pula jenis metode dan medi sebagai kriteria lain. Berarti penentuan waktu setiap kegiatan dilakukan atas pertimbangan langkah dalam urutan kegiatan seperti D,R,T,U,C,L,T,U,T dan metode serta media yang digunakan yang digunakan. Perubahan pada metode dan media tersebut memungkinkan untuk perubahan waktu yang digunakan.Oleh karena itu, penyusunan strategi instruksional hrus dilakukan dengan mengintegrasikan keempat komponen yang tergabung di dalamnya, yaitu, komponen urutan kegiatan instruksional, metode, media, dan waktu.
Berikut ini akan  diuraikan bagaimana mengisi tabel untuk mengisi strategi instruksional.
1.    Mengisi nomor TIK yang strategis instruksionalnya akan disusun.
2.    Kolom satu telah diisi dengan Pendahulun, Penyajian, dan Penutup. Pada kolom dua , harus mulai memikirkan urutan kegiatan instruksional yang sesuai untuk menghasilkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang tercantum dalam TIK.
a)    Kolom pendahuluan ada tiga kegiatan, yaitu D (Deskripsi Singkat), R (Relevansi), T (tujuan Instruksional Khusus)
b)    Kolom penyajian ada kegiatan yang harus diisi, yaitu U (Uraian), C (Contoh), dan L (Latihan).
Beberapa pedoman di bawah ini untuk dijadikan pertimbangan dalam menentukan urutan kegiatan penyajian.
(1)  UCL adalah penyajian yang konservatif (Merryl & Tennyson, 1977) yang dimulai dengan memberikan uraian tentang pengertian suatu konsep, prinsip atau prosedur, diikutu dengan contoh penerapannya dalam kehidupan sehari-hari dan diakhiri dengan latihan untuk menguasainya.
(2)  CLU adalah penyajian yang dimulai dari pemberian contoh atau kasus diikuti dengan latihan memecahkannya dan mengakhirinya dengan uraian atau generalisasi dari isi pembelajaran.
(3)  LUC adalah penyajian yang dimulai dari pemberian latihan atau percobaan diikuti dengan uraian dan diakhiri dengan contoh. Urutan penyajian ini peserta didik dalam belajarnya melalui coba-coba yang awalnya menimbulkan dinamika peserta didik.
(4)  CUL adalah penyajian yang dimulai dari pemberian contoh diikuti dengan uraian tentang konsep, prinsip, atau prosedur yang terkandung di dalamnya dan diakhiri dengan latihan menerapkannya.
(5)  ULC adalah penyajian yang dimulai dari pemberian uraian tentang konsep, prinsip atau prosedur yang dipelajari diikuti dengan latihan untuk menguasainya dan akhirnya ditutup dengan contoh latihan penerapannya apa yang dipelajarinya dalam kehidupan sehari-hari.
(6)  LCU adalah penyajian yang memberikan kesempatan mencoba terlebih dahulu kemudian diikuti dengan contoh untuk perbandingan dan diakhiri dengan uraian atau kesimpulan.
Seluruh kolom dua diisi dengan pertimbangan diatas.Dengan selesainya pengisian kolom dua maka selanjutnya memasuki kolom ketiga dengan prosedur pengisian yang berbeda. Sejak kolom tiga cara pengisiannya baris demi baris bukan kolom demi kolom.
3.    Bila diperhatikan akan tampak bahwa kolom tiga masih berada di bawah Urutan Kegitan Instruksional. Kolom tersebut diisi dengan garis-garis besar materi yang akan diberikan pengajar dalam setiap urutan kegitan. Dalam kolom tiga ini berisi tentang materi atau isi pelajaran yang secara singkat untuk setiap TIK dimulai dari pendahuluan sampai penutup. Dengan demikian isi pelajaran bukan hanya apanya tetapi juga cara dan langkah-langkah menyajikannya.
4.    Sebelum meneruskan pada baris R atau T, maka isilah terlebih dahulu kolom 4,5, dan 6 yang sehubungan dengan baris D. Kolom 4 berisi tentang metode, kolom 5 berisi tentang media, dn kolom 6 berisi tentang waktu.

G. MENGEMBANGKAN BAHAN INSTRUKSIONAL

A. Pengertian Bahan Ajar
Menurut Gafur (2004) bahan ajar adalah pengetahuan, keterampilan dan sikap yang harus diajarkan oleh guru dan dipelajari oleh siswa. Bahan ajar tersebut berisi materi pelajaran yang harus dikuasai oleh guru dan disampaikan kepada siswa. Sedangkan menurut Mulyasa (2006), bahan ajar atau materi pembelajaran (instructional materials) adalah pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang harus dipelajari siswa dalam rangka mencapai standar kompetensi yang telah ditentukan. Secara terperinci, jenis-jenis materi pembelajaran terdiri dari pengetahuan (fakta, konsep, prinsip, prosedur), keterampilan, dan sikap atau nilai.

Mulyasa (2006) juga menjelaskan bahwa bahan ajar merupakan salah satu bagian dari sumber belajar yang dapat diartikan sesuatu yang mengandung pesan pembelajaran, baik yang diniatkan secara khusus maupun bersifat umum yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan pembelajaran. Dengan kata lain bahan ajar adalah segala bentuk bahan yang digunakan untuk membantu guru/instruktur dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran di kelas. Bahan yang dimaksud bisa berupa bahan tertulis maupun bahan tidak tertulis.
Bahan ajar mempunyai struktur dan urutan yang sistematis, menjelaskan tujuan instruksional yang akan dicapai, memotivasi peserta didik untuk belajar, mengantisipasi kesukaran belajar peserta didik sehingga menyediakan bimbingan bagi peserta didik untuk mempelajari bahan tersebut, memberikan latihan yang banyak, menyediakan rangkuman, dan secara umum berorientasi pada peserta didik secara individual (learner oriented). Biasanya, bahan ajar bersifat mandiri, artinya dapat dipelajari oleh peserta didik secara mandiri karena sistematis dan lengkap (Panen dan Purwanto, 2004).


B. Macam-macam Pengembangan Bahan Ajar
Menurut Suparman (2004), ada tiga macam pengembangan bahan instruksional, yaitu pengembangan bahan belajar mandiri, pengembangan bahan pengajaran konvensional dan pengembangan bahan model Pengajar, Bahan dan Siswa (PBS).
1. Pengembangan Bahan Belajar Mandiri
Bahan belajar mandiri dikembangkan bila dalam pelaksanaan kegiatan instruksional mahasiswa belajar secara mandiri tanpa tergantung kepada kehadiran pengajar. Bahan instruksional tersebut adalah gurunya. Bahan belajar mandiri mempunyai empat ciri pokok, yaitu:
a.    Mempunyai kalimat yang mampu menjelaskan sendiri. Uraian dalam bahan itu jelas sehingga tidak perlu penjelasan tambahan dari pengajar atau sumber lain;
b.    Dapat dipelajari oleh mahasiswa sesuai dengan kecepatan belajar masing-masing. Dalam bahan tersebut telah terdapat petunjuk kapan mahasiswa boleh terus maju ke bagian berikutnya dan kapan harus mengulang mempelajari bahan belajar yang sama atau bahan yang lain. Mahasiswa yang mampu belajar dengan cepat dapat maju terus tanpa perlu menunggu mahasiswa lain yang lebih lambat. Sebaliknya mahasiswa yang lambat tidak perlu merasa tertinggal dan memburu kecepatan mahasiswa yang lebih cepat;
c.    Dapat dipelajari oleh mahasiswa menurut wktu dan tempat yang dipilihnya;
d.   Mampu membuat mahasiswa aktif melakukan sesuatu pada saat belajar, seperti mengerjakan latihan, tes atau kegiatan praktik. Mahasiswa belajar  tidak sekedar membaca buku, mendengarkan kaset audio/radio, melihat program video atau televisi.
Untuk memproduksi bahan belajar mandiri, pendesain instruksional dengan bantuan strategi instruksional melakukan langkah-langkah berikut ini:
a.    Memilih dan mengumpulkan bahan instruksional yang kebetulan tersedia di lapangan dan relevan dengan isi pelajaran yang tercantum dalam strategi instruksional. Bahan-bahan tersebut berbentuk buku, bab tertentu dalam buku, dan program media udiovisual;
b.    Mengadaptasikan bahan instruksional tersebut ke dalam bentuk bahan belajar mandiri dengan mengikuti startegi instruksional yang telah disusun sebelumnya. Bila ternyata tidak ada yang sesuai, pengembang instruksional harus mulai menulis bahan belajar sendiri;
c.    Meneliti kembali konsistensi isi bahan belajar tersebut dengan strategi instruksional;
d.   Meneliti kualitas teknis dari bahan tersebut, yang meliputi tiga hal sebagai berikut:
1)     Bahasa yang sederhana dan relevan
Sedapat mungkin modul yang dikembangkan menggunakan bahasa yang mudah dan konsisten dengan terminologi yang biasa digunakan dalam bidang pengetahuan yang bersangkutan.
2)        Bahasa yang komunikatif
Bahasa yang digunakan dalam modul disusun dengan bahasa yang mencerminkan pembicaraan langsung dari seorang pengajar atau pelatih kepada seorang mahasiswa yang membacanya atau mendengarnya.
3)        Desain fisik
Desain fisik dari suatu modul, khususnya yang berbentuk media cetak, harus artistik, rapi, menarik dan diketik dengan jelas serta tidak terlalu rapat. Sedangkan desain fisik yang noncetak harus jelas bila didengar atau dilihat gambarnya, baik kualitas bahan bakunya, pengemasannya maupun kemudahan dalam menyimpannya.
2. Pengembangan Bahan  Pengajaran Konvensional
Bahan pengajaran konvensional sangat terbatas jumlahnya karena yang menjadi poin pokok kegiatan instruksional ini adalah pengajar dan bahan-bahan pengajaran. Pengajar menyajikan isi pelajaran dengan urutan, metode dan waktu yang telah ditentukan dalam strategi instruksional. Berikut ini adalah langkah-langkah dalam mengembangkan bahan pengajaran konvensional:
a.    Menulis deskripsi singkat isi pelajaran tersebut yang disimpulkan dari seluruh subkomponen  D(Deskripsi Singkat) pada strategi instruksional untuk seluruh TIK;
b.    Menulis topik dan jadwal pelajaran yang diangkat dari setiap subkomponen D dan waktu yang dibutuhkan pengajar pada strategi instruksional;
c.    Menyusun tugas dan jadwal penyelesaiannya yang diharpakan dilakukan mahasiswa. Daftar tersebut meliputi seluruh Latihan (L) yang terdapat dalam strategi instruksional;
d.   Menyusun cara pemberian nilai hasil pelaksanaan tugas dan tes.





C. Pengembangan Bahan PBS
Berikut ini adalah langkah-langkah dalam pengembangan bahan PBS, yaitu:
1.    Memilih dan mengumpulkan bahan instruksional yang kebetulan tersedia di lapangan dan relevan dengan isi pelajaran yang tercantum dalam strategi instruksional. Bahan tersebut berbentuk media cetak dan audiovisual;
2.    Menyusun bahan tersebut sesuai dengan urutan pada U (Uraian) yang terdapat dalam strategi instruksional;
3.    Mengidentifikasi bahan-bahan yang tidak diperoleh dari lapangan untuk ditutup dengan penyajian pengajar;
4.    Menyusun  program pengajaran;
5.    Menyusun petunjuk cara menggunakan bahan instruksional yang dibagikan kepada  mahasiswa.
a.  Menyusun bahan lain yang berupa transparansi, gambar, bagan dan lain-lain.


D. Penyusunan Bahan Ajar
Prosedur Pengembangan Bahan Ajar. Ada beberapa langkah dalam mengembangkan bahan ajar yaitu:
1.    Menganalisis kebutuhan instruksional yang menghasilkan perilaku-perilaku umum yang dibuat dalam bentuk Tujuan Instruksional Umum (TIU);
2.    Menganalisis tujuan instruksional dengan menjabarkan perilaku-perilaku umum dari TIU menjadi perilaku-perilaku khusus yang menghasilkan perilaku-perilaku yang diharapkan dimiliki oleh siswa;
3.    Menganalisis karakteristik siswa dan lingkungan menghasilkan perilaku-perilaku khusus yang sudah dimiliki oleh siswa;
4.    Merumuskan Tujuan Instruksional Khusus (TIK) yang diperoleh dari perilaku-perilaku khusus yang diharapkan dan perilaku-perilaku khusus yang sudah dimiliki siswa.


BAB III
PEMBAHASAN
APLIKASI MODEL PENGEMBANGAN PELATIHAN
BERTENUN ULOS

1. IDENTIFIKASI KEBUTUHAN INTRUKSIONAL DAN MENULIS TUJUAN INTRUKSIONAL
A. IDENTIFIKASI KEBUTUHAN
Di Indonesia sebagai negara yang sedang berkembang, dapat dilihat munculnya berbagai macam industri kecil rumah tangga dengan kerajinan berbagai macam bentuk dan bahan yang bergantung kepada sumber-sumber kekayaan alam yang ada baik itu hasil hutan maupun tidak. Industri kecil di Indonesia mulai muncul pada tahun 1950-an. Sejalan dengan kebijakan pemerintah dalam rangka pemberdayaan sumber daya alam maupun sumber daya manusia.
Industri kerajinan menjadi salah satu kegiatan masyarakat yang berfungsi untuk menyerap tenaga kerja dan lebih jauh hasil produksi kerajinan dapat dijadikan sumber devisa negara. Bermodalkan keterampilan, ketekunan, dan keuletan, industri kerajinan yang mengelola dari bahan-bahan alam akan menjadi suatu kegiatan usaha professional, salah satunya kerajinan ulos.
Ulos merupakan kain adat hasil tenunan suku bangsa Batak yang menunjukkan identitas Batak. Kerajinan ulos bisa dikatakan sebagai usaha keluarga Batak karena kebanyakan memakai tenaga kerja yang berasal dari rumah tangga sendiri yakni memanfaatkan anggota rumah tangga sebagai tenaga kerja. Bertenun ulos membutuhkan ketelitian dan tingkat ketajaman penglihatan yang tinggi serta waktu yang cukup lama pada pekerja sehingga memerlukan kondisi ruangan yang optimal.
Bertenun ulos merupakan salah satu sumber mata pencaharian hidup yang utama khusunya bagi kaum ibu. Teknologi dan peralatan yang dipergunakan pengrajin sangat sederhana sekali, yakni bertenun ulos dengan tangan tanpa mesin dan peralatan dari kayu dan bambu.  Kegiatan in cukup efisien karena bisa dilakukan di luar atau di dalam rumah. Hasil dari bertenun ulos ini juga lumayan tinggi misalnya saja sehelai ulos ragi hotang sepanjang hampir dua meter itu, akan dapat diselesaikan dalam waktu hanya tiga hari dan di jual dengan harga Rp. 130.000 perlembar dan ada yang sampai jutaan rupiah tergantung jenis ulos yang dibuat.
Hasil tenunan bermotif ulos telah pula banyak dijadikan sebagai bakal kemeja, gaun, tas, sandal dan baju jas. Hal in mengakibatkan permintaan akan ulos semakin meningkat. Melihat hal tersebut keterampilan bertenun ulos layak dikembangkan.

B. TUJUAN INTRUKSIONAL
PESERTA PELATIHAN AKAN MAMPU BERTENUN ULOS

2. MELAKUKAN ANALISIS INTRUKSIONAL
Berdasarkan tujuan intruksional yang telah ditetapkan terdapat sepuluh tujuan intruksional khusus yaitu:
1. Menjelaskan pengertian bertenun ulos
2. Mengidentifikasi ciri-ciri bertenun ulos
3. Mengidentifikasi jenis-jenis motif bertenun ulos
4. Mengidentifikasi fungsi-fungsi ulos
5. Mengidentifikasi alat dan bahan yang digunakan
6. Menjelaskan proses dasar bertenun ulos
7. Mempersiapkan bahan
8. Mempersiapkan alat
9. Mendemonstrasikan pembuatan  tenunan ulos
10. Bertenun ulos



















\

3. MENGIDENTIFIKASI PERILAKU DAN KARAKTER AWAL PESERTA DIDIK
Pelatihan bertenun ulos ini  di desa Buhit.  Daerah ini merupakan salah satu desa yang terletak di kecamatan Pangururan, Kabupaten samosir. Adapun pertimbangan memilih lokasi in adalah sebagai berikut:
a) Keadaan atau situasi daerah yang mendukung untuk diadakan pelatihan
b) Di daerah ini terdapat banyak para ibu rumah tangga, yang hanya berpropesi sebagai ibu rumah tangga. Jadi waktu terbuang banyak.
c) Daerah ini mayoritas orang batak toba yang merupakan pengguna Ulos untuk acara adat dan sebagainya. Jadi secara otomatis pelatihan ini akan sangat berguna bagi para peserta pelatihan.
1.   Menuliskan kembali daftar perilaku khusus yang telah berhasil dibuat dalam kegiatan analisis instruksional, yakni
1) Menjelaskan pengertian bertenun ulos
2) Mengidentifikasi ciri-ciri bertenun ulos
3) Mengidentifikasi jenis-jenis motif bertenun ulos
4) Mengidentifikasi fungsi-fungsi ulos
5) Mengidentifikasi alat dan bahan yang digunakan
6) Menjelaskan proses dasar bertenun ulos
7) Mempersiapkan bahan
8) Mempersiapkan alat
9) Mendemonstrasikan pembuatan  tenunan ulos
10) Bertenun ulos

2. Membuat penilaian tes awal, yakni sebagai berikut :
Petunjuk penilaian
a) Untuk membantu mengembangkan desain instruksional, maka diharapkan agar menjawab pertanyaan dengan yang sebenarnya.
b) Jawablah pertanyaan-pertanyaan dengan menjawabnya sesuai kemampuan Kalian!



Tabel 1. Tes Awal yang Disesuaikan dengan Perilaku Khusus

No. Perilaku Khusus Tes Awal  
1. Menjelaskan pengertian bertenun ulos Jelaskan pengertian bertenun ulos!  
2. Mengidentifikasi ciri-ciri bertenun ulos Sebutkan karakteristik bertenun ulos !  
3. Mengidentifikasi jenis-jenis motif bertenun ulos Jelaskan jenis-jenis motif tenunan ulos!  
4. Mengidentifikasi fungsi-fungsi ulos Sebutkan fungsi-fungsi ulos dari jenis-jenis ulos tersebut!  
5. Mengidentifikasi alat dan bahan yang digunakan Sebutkan alat dan bahan yang digunakan dalam bertenun ulos!  
6. Menjelaskan proses dasar bertenun ulos Jelaskan proses dalam bertenun ulos!  
7. Mempersiapkan bahan Sebutkan bahan apa saja yang dibutuhkan dalam bertenun ulos sesuai dengan motifnya?  
8. Mempersiapkan alat Sebutkan bahan apa saja yang dibutuhkan dalam bertenun ulos seuai dengan motifnya!  
9. Mendemonstrasikan pembuatan  tenunan ulos Demonstrasikan pembuatan tenunan ulos!  
10. Bertenun ulos Buatlah tenunan ulos!

Tes penilaian awal ini diberikan langsung oleh tim pelatih kepada peserta pelatihan  tersebut. Selanjutnya melihat hasil penilaian tes, dan ini dilakukan langsung oleh pelatih yaitu memberi tanda contereng (V) pada kolom skala penilaian ( kolom 3 dan 4 ) sesuai dengan hasil tes awal peserta pelatihan

Tabel 2.
Hasil Penilaian Tes Awal

No. Perilaku Khusus Dimiliki Belum Dimiliki  
1. Menjelaskan pengertian bertenun ulos  
2. Mengidentifikasi ciri-ciri bertenun ulos  
3. Mengidentifikasi jenis-jenis motif bertenun ulos  
4. Mengidentifikasi fungsi-fungsi ulos  
5. Mengidentifikasi alat dan bahan yang digunakan  
6. Menjelaskan proses dasar bertenun ulos  
7. Mempersiapkan bahan  
8. Mempersiapkan alat  
9. Mendemonstrasikan pembuatan  tenunan ulos  
10. Bertenun ulos

3. Untuk mendapatkan data karakteristik awal peserta maka para peserta pelatihan diharapkan mengisi/menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut:
a)  Nama :
Tempat tanggal lahir :
Tempat tinggal :
Pekerjaan yang dicita-citakan :
Hobi :
Bahasa :
Alat-alat audio visual yang dimiliki :
b)  Apakah kamu mengikuti pelatihan bertenun ulos?
1. Ya / Tidak  2. Belum / Tidak
Tanggal, bulan dan tahun pelaksanaan
c)  Jika ya, apakah telah melakukan kegiatan tersebut lingkungan tempat kamu tinggal?
1. Ya / Tidak 2. Belum / Tidak
d) Apakah kamu bercita-cita jadi pengerajin ulos?
1. Ya/ Tidak
4) Pengelompokan perilaku awal yang telah dikuasai oleh peserta pelatihan. Perilaku yang didapat  yaitu nilai baik dan buruk. Perilaku yang mendapat nilai baik berarti peserta pelatihan dianggap sudah memiliki perilaku akan materi yang akan diajarkan tersebut. Sebaliknya peserta pelatihan yang mendapat nilai buruk, berarti dianggap belum memiliki penguasaan akan materi/perilaku tersebut .
5)  Berdasarkan data dan pengamatan penulis tentang karakteristik peserta pelatihan, dapat diketahui bahwa:
a)  Lingkungan Budaya;
     Lingkungan budaya yang berkembang di daerah ini adalah budaya Komering.
b)  Pekerjaan;
Pekerjaan peserta pelatihan : Ibu rumah tangga, petani, pedagang
c)  Hobi dan kesenangan;
Hobi,  kesenangan para peserta pelatihan sangat beragam, namun sebagian besar
     hobi dengan kegiatan olah raga, musik dan  membaca.
d)  Bahasa yang digunakan;
Bahasa daerah setempat (bahasa Komering), bahasa Batak Toba , dan Bahasa Indonesia.

e)  Alat-alat audio visual yang dimiliki : HP, Televisi,  tape recorder, dan DVD.
Untuk pertanyaan kuisioner bagian b, c, dan d, hanya ada lima peserta pelatihan yang menjawab mencontreng “ya” pada bagian pernah mengikuti pelatihan bertenun ulos. Selain itu, hanya ada dua orang siswa yang berkeinginan menjadi pengerajin ulos.
Tabel 3.
Daftar peserta pelatihan yang Diidentifikasi dan Hasil Penilaian

No. Nama Perilaku No. Keterangan  
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10  
1. Maria Silalahi v v x x x x x x x x 1 dan 2 dimiliki  
2. Nirwana sinaga v v x x x x x x x x 1 dan 2 dimiliki  
3. Sonya Manik v v x x x x x x x x 1 dan 2 dimiliki  
4. Murni Silalahi v v x x x x x x x x 1 dan 2 dimiliki  
5. Ani Situmorang v v x x x x x x x x 1 dan 2 dimiliki  
6. Menawan Nainggolan v v x x x x x x x x 1 dan 2 dimiliki  
7. Sinta Simbolon v v x x x x x x x x 1 dan 2 dimiliki  
8. Ervina Sagala v v x x x x x x x x 1 dan 2 dimiliki  
9. Juniar Simbolon v v x x x x x x x x 1 dan 2 dimiliki  
10. Fefi Situmorang v x x x x x x x x x 1 dimiliki  
11. Maya Silalahi v v x x x x x x x x 1 dan 2 dimiliki  
12. Posma Sianturi v v x x x x x x x x 1 dan 2 dimiliki  
13. Lia Sinaga v v x x x x x x x x 1 dan 2 dimiliki  
14. Agnes Sitorus v v x x x x x x x x 1 dan 2 dimiliki  
15. Cristiani v v x x x x x x x x 1 dan 2 dimiliki  
16. Berliana Rajagugk-guk v x x x x x x x x x 1 dimiliki  
17. Rachel Pandiangan v v x x x x x x x x 1 dan 2 dimiliki  
18. Fitriani Simanjuntak v v x x x x x x x x 1 dan 2 dimiliki  
19. Evaria Sinaga v v x x x x x x x x 1 dan 2 dimiliki  
20. Debora manik v v x x x x x x x x 1 dan 2 dimiliki  
21. Sarah v v x x x x x x x x 1 dan 2 dimiliki  
22. Saudur v x x x x x x x x x 1 dimiliki  
23. Nelly v v x x x x x x x x 1 dan 2 dimiliki  
24. Yanti Sidebang v x x x x x x x x x 1 dimiliki  
25. Theresia Gultom v v x x x x x x x x 1 dan 2 dimiliki  
Tabel 4
Daftar Perilaku Khusus yang Dimiliki dan Belum Dimiliki
Peserta Pelatihan

No. Perilaku Khusus yang Dimiliki No. Perilaku Khusus yang Belum Dimiliki  
1. Menjelaskan pengertian bertenun ulos 1. Mengidentifikasi jenis-jenis motif tenunan ulos  
2. Mengidentifikasi karakteristik bertenun ulos 2. Mengidentifikasi alat dan bahan yang digunakan bertenun ulos  
3. Menjelaskan proses dasar bertenun ulos  
4. Menjelaskan proses bertenun ulos  
5. Mempersiapkan bahan  
6. Mempersiapkan alat  
7. Mendemonstrasikan pembuatan  tenunan ulos  
8. Bertenun ulos


4. MENULIS TUJUAN INTRUKSIONAL KHUSUS
Berikut perumusan Tujuan instruksional khusus berdasarkan perilaku khusus yang belum dimiliki siswa (dilihat dari hasil analisis perilaku khusus siswa) dengan menggunakan unsur ABCD seperti dalam tabel berikut.
Tabel 1. Rumusan Tujuan Instruksional Khusus (TIK)
Berdasarkan Perilaku Khusus

No. Perilaku Khusus Yang Belum Dimiliki Siswa Tujuan Instruksional Khusus (TIK)  
1. Mengidentifikasi jenis-jenis motif bertenun ulos Setelah diberikan contoh motif ulos,  peserta pelatihan dapat menyebutkan jenis-jenis motif tenunan ulos.  
2. Mengidentifikasi fungsi-fungsi ulos Setelah dijelaskan  fungsi-fungsi ulos peserta pelatihan dapat menjelaskan kembali 80% dengan benar.  
3. Mengidentifikasi alat dan bahan yang digunakan Setelah dijelaskan alat dan bahan yang digunakan dalam betenun ulos peserta pelatihan mampu menyebutkan 90% dengan benar.  
4. Menjelaskan proses dasar bertenun ulos Setelah dijelaskan proses dasar bertenun ulos, peserta pelatihan dapat menjelaskan proses yang baik dengan benar.  
5. Mempersiapkan bahan Jika diberikan deskripsi suatu motif ulos yang akan ditenun, peserta pelatihan dapat menguraikan bahan-bahan yang akan disiapkan secara benar.  
6. Mempersiapkan alat Jika diberikan contoh suatu tenunan ulos, peserta pelatihan dapat menjelaskan secara singkat alat yang diguanakan untuk bertenun ulos tersebut dengan benar.  
7. Mendemonstrasikan pembuatan  tenunan ulos Setelah didemonstrasikan pembuatan tenunan ulos, peserta pelatihan dapat mendemostrasikan secara singkat pembuatan  tenunan ulos tersebut dengan benar.  
8. Bertenun ulos Setelah didemonstrasikan pembuatan tenunan ulos, peserta pelatihan akan mampu bertenun ulos dengan tepat sesuai dengan motif yang telah ditentukan.



5. MENYUSUN ALAT PENILAIAN HASIL BELAJAR
1. Menentukan maksud tes
Tes yang dibuat ini digunakan untuk mengukur sejauh mana tingkat keberhasilan siswa dalam mencapai tujuan instruksional khusus (TIK), dan memberikan umpan balik/petunjuk  bagi guru tentang kesulitan siswa dalam bagian-bagian tertentu dari bahan dan strategi pembelajaran yang digunakan
2. Membuat tabel spesifikasi untuk tes
Kerangka tabel spesifikasi

No. Daftar Kompetensi Bobot Kompetensi Jenis Tes Jumlah Butir Tes  
1. Mengidentifikasi jenis-jenis motif bertenun ulos 100 Essay 1  
2. Mengidentifikasi fungsi-fungsi ulos 100 Essay 1  
3. Mengidentifikasi alat dan bahan yang digunakan 100 Essay 1  
4. Menjelaskan proses dasar bertenun ulos 100 Essay 1  
5. Mempersiapkan bahan 100 Essay 1  
6. Mempersiapkan alat 100 Essay 1  
7. Mendemonstrasikan pembuatan  tenunan ulos 100 Penugasan 1  
8. Bertenun ulos 100 Penugasan 1

3.  Menulis butir tes
TIK 1: Setelah diberikan contoh motif ulos,  peserta pelatihan dapat menyebutkan jenis-jenis motif tenunan ulos.
Butir tes
1. Sebutkan jenis-jenis ulos!

TIK 2: Setelah dijelaskan fungsi-fungsi ulos peserta pelatihan dapat menjelaskan kembali 80% dengan benar
Butir tes
Sebutkan fungsi-fungsi ulos dari jenis-jenis ulos di atas!

TIK 3: Setelah dijelaskan alat dan bahan yang digunakan dalam betenun ulos peserta pelatihan mampu menyebutkan 90% dengan benar.
Butir tes
Sebutkan alat dan bahan yang digunakan dalam  bertenun ulos secara umum

TIK 4: Setelah dijelaskan proses dasar bertenun ulos, peserta pelatihan dapat menjelaskan proses yang baik dengan benar.
Butir tes
Bagaimana proses pembuatan ulos?

TIK 5: Jika diberikan deskripsi suatu motif ulos yang akan ditenun, peserta pelatihan dapat menguraikan bahan-bahan yang akan disiapkan secara benar.
Butir tes
Jika kamu mau bertenun ulos sadum, bahan apa yang akan kamu persiapkan?

TIK 6: Jika diberikan contoh suatu tenunan ulos, peserta pelatihan dapat menjelaskan secara singkat alat yang diguanakan untuk bertenun ulos tersebut dengan benar.
Butir tes
Jika kamu mau bertenun ulos sadum, alat apa yang akan kamu persiapkan?

TIK 7: Setelah didemonstrasikan pembuatan tenunan ulos, peserta pelatihan dapat mendemostrasikan secara singkat pembuatan  tenunan ulos tersebut dengan benar.
Butir tes
Demostrasikan secara singkat pembuatan tenunan ulos dengan benar!

TIK 8: Setelah didemonstrasikan pembuatan tenunan ulos, peserta pelatihan akan mampu bertenun ulos dengan tepat sesuai dengan motif yang telah ditentukan.
Butir tes
Buat satu tenunan ulos dengan benar!
4. Merakit Tes dan membuat petunjuk Tes
SOAL TES
Petunjuk :
b.        Jawablah pertanyaan di bawah ini dengan tepat.
c.         Skor maksimal pada masing-masing soal  ada di sebelah soal.

Soal:
1. Sebutkan jenis-jenis ulos!
2. sebutkan fungsi-fungsi ulos dari jenis-jenis ulos di atas!
3. Sebutkan alat dan bahan yang digunakan dalam  bertenun ulos secara umum
4. Bagaimana proses pembuatan ulos?
5. Jika kamu mau bertenun ulos sadum, bahan apa yang akan kamu persiapkan?
6. Jika kamu mau bertenun ulos sadum, alat apa yang akan kamu persiapkan?
7. Demostrasikan secara singkat pembuatan tenunan ulos dengan benar!
8. Buat satu tenunan ulos dengan benar!


6. MENYUSUN STRATEGI INSTRUKSIONAL

Strategi Instruksional ke-1

TIK  1: Setelah diberikan contoh ulos, peserta pelatihan dapat menyebutkan jenis-jenis motif tenunan ulos.


Urutan Kegiatan Garis Besar Isi Metode Media dan Alat Waktu Belajar  
1 2 3 4 5  
TAHAP PENDAHULUAN  
Deskripsi Singkat Materi ini mempelajari tentang menyebutkan jenis-jenis motif tenunan ulos. Ceramah Proyektor, laptop dan ulos 2 menit  
Relevansi Tanpa mengetahui jenis-jenis motif ulos maka kebrhasilan pelatihan akan sulit tercapaisecara optimal Ceramah Proyektor, laptop dan ulos 2 menit  
TIK Setelah diberikan contoh ulos, peserta pelatihan dapat menyebutkan jenis-jenis motif tenunan ulos minimal 80 % benar Ceramah Proyektor, laptop dan ulos 2 menit  
TAHAP PENYAJIAN  
Uraian Menjelaskan tentang jenis-jeins motif ulos:

1. Sadum
2. Ragi hotang
3. Ulos Bintang Maratur dll Ceramah bervariasi dengan Tanya jawab Proyektor, laptop dan ulos 10 menit  
Contoh dan noncontoh Menunjukkan contoh ulos dari jenis-jenis di atas Ceramah bervariasi dengan Tanya jawab Proyektor, laptop dan ulos 5 menit  
Latihan Sebutkan jenis-jenis ulos Tanya jawab Lembar soal 7 menit  
Rangkuman  
Glosarium  
TAHAP PENUTUP  
Umpan balik Mengidentifikasi kesulitan yang masih dirasakan peserta pelatihan Diskusi Proyektor, laptop dan ulos 4 menit  
Tindak lanjut Penjelasan kembali bagian-bagian yang belum di-pahami oleh peserta pelatihan. Ceramah Proyektor, laptop dan ulos 3 menit  
JUMLAH WAKTU 35

Strategi Instruksional ke-2
TIK  2:  Setelah dijelaskan  fungsi-fungsi ulos peserta pelatihan dapat menjelaskan kembali 80% dengan benar.

Urutan Kegiatan Garis Besar Isi Metode Media dan Alat Waktu Belajar  
1 2 3 4 5  
TAHAP PENDAHULUAN  
Deskripsi Singkat Pentingnya pengetahuan tentang fungsi-fungsi ulos ceramah Proyektor, laptop dan ulos 2 menit  
Relevansi Tanpa mengetahui fungsi-fungsi ulos maka pelatihan sulit tercapai secara optimal. ceramah Proyektor, laptop dan ulos 5 menit  
TIK Setelah dijelaskan  fungsi-fungsi ulos peserta pelatihan dapat menjelaskan kembali 80% dengan benar. ceramah Proyektor, laptop dan ulos 5 menit  
TAHAP PENYAJIAN  
Uraian Penjelasan secara umum fungsi-fungsi ulos dari jenis ulos yang telah disampaikan.
Ceramah bervariasi dengan Tanya jawab Proyektor, laptop dan ulos 20 menit  
Contoh dan noncontoh Menunjukkan contoh ulos Ceramah bervariasi dengan Tanya jawab Proyektor, laptop dan ulos 10 menit  
Latihan Jelaskan kembali tentang:
Fungsi-fungsi ulos Tanya jawab Lembar soal 15 menit  
Rangkuman  
Glosarium  
TAHAP PENUTUP  
Umpan balik Mengidentifikasi kesulitan yang masih dirasakan peserta pelatihan dalam mengerjakan tes. diskusi Proyektor, laptop dan ulos 8 menit  
Tindak lanjut Penjelasan kembali bagian-bagianyang tidak dimengerti ceramah Proyektor, laptop dan ulos 5 menit  
JUMLAH WAKTU 70 menit




Strategi Instruksional ke-3
TIK 3: Setelah dijelaskan alat dan bahan yang digunakan dalam betenun ulos peserta pelatihan mampu menyebutkan 90% dengan benar.

Urutan Kegiatan Garis Besar Isi Metode Media dan Alat Waktu Belajar  
1 2 3 4 5  
TAHAP PENDAHULUAN  
Deskripsi Singkat Pentingnya pengetahuan tentang alat dan bahan yang digunakan dalam bertenun ulos ceramah Proyektor, laptop dan ulos 2 menit  
Relevansi Tanpa mengetahui alat dan bahannya maka hasil produk tidak akan jadi ceramah Proyektor, laptop dan ulos 5 menit  
TIK Setelah dijelaskan alat dan bahan yang digunakan dalam betenun ulos peserta pelatihan mampu menyebutkan 90% dengan benar. ceramah Proyektor, laptop dan ulos 3 menit  
TAHAP PENYAJIAN  
Uraian Menjelaskan tentang alat seperti: busur hapas dan bahan dalam membuat tenunan ulos
Ceramah bervariasi dengan Tanya jawab Proyektor, laptop dan ulos 15 menit  
Contoh dan noncontoh Menunjukkan contoh alat dan bahan yang digunakan Ceramah bervariasi dengan Tanya jawab Proyektor, laptop dan ulos 10 menit  
Latihan Jelaskan kembali tentang:
alat dan bahan yang digunakan Tanya jawab 7 menit  
Rangkuman  
Glosarium BUSUR HAPAS :
Dibuat dari bambu berbentuk busur panah (Sumbia) Digunakan untuk membusur kapas, mengembangkan dalam kondisi merata agar mudah dijadikan benang dengan sorha.
SORHA TANGAN :
Bahan terbuat dari kayu, papan dan besi (Kawat). Digunakan untuk memintal benang dari kapas. Roda pemintal degerakkan dengan tangan.  
TAHAP PENUTUP  
Umpan balik Mengidentifikasi kesulitan yang masih dirasakan peserta pelatihan sehubungan dengan alat dan bahan yang digunakan diskusi Proyektor, laptop dan ulos 15 menit  
Tindak lanjut Menjelaskan kembali tentang alat dan bahan ceramah Proyektor, laptop dan ulos 5 menit



Strategi Instruksional ke-4
TIK 4: Setelah dijelaskan proses dasar bertenun ulos, peserta pelatihan dapat menjelaskan proses yang baik dengan benar.


Urutan Kegiatan Garis Besar Isi Metode Media dan Alat Waktu Belajar  
1 2 3 4 5  
TAHAP PENDAHULUAN  
Deskripsi Singkat Pentingnya pengetahuan tentang proses pembuatan produk ulos ceramah Proyektor, laptop dan ulos 2 menit  
Relevansi Tanpa mengetahui proses pembuatan produk ulosmaka hasil produk tidak akan jadi ceramah Proyektor, laptop dan ulos 5 menit  
TIK Peserta pelatikan akan dapat menjelaskan proses pembuatan produk ulos minimlal 80% ceramah Proyektor, laptop dan ulos 3 menit  
TAHAP PENYAJIAN  
Uraian Menjelaskan tentang proses bertenun ulos Ceramah bervariasi dengan Tanya jawab Proyektor, laptop dan ulos 20 menit  
Contoh dan noncontoh Menunjukkan contoh bertenun  ulos Ceramah bervariasi dengan Tanya jawab Proyektor, laptop dan ulos 10 menit  
Latihan Jelaskan kembali tentang:
Cara bertenun ulos Tanya jawab 10 menit  
Rangkuman  
Glosarium  
TAHAP PENUTUP  
Umpan balik Mengidentifikasi kesulitan yang masih dirasakan peserta pelatihan sehubungan dengan proses pembuatan produk ulos diskusi Proyektor, laptop dan ulos 10 menit  
Tindak lanjut Menjelaskan kembali tentang teknik pembuatan produk ulos ceramah Proyektor, laptop dan ulos 5 menit


Strategi Instruksional ke-5
TIK 5: Jika diberikan deskripsi suatu motif ulos yang akan ditenun, peserta pelatihan dapat menguraikan bahan-bahan yang akan disiapkan secara benar.


Urutan Kegiatan Garis Besar Isi Metode Media dan Alat Waktu Belajar  
1 2 3 4 5  
TAHAP PENDAHULUAN  
Deskripsi Singkat Pentingnya mempersiapkan bahan ceramah Proyektor, laptop dan ulos 3 menit  
Relevansi Tanpa mempersiapkan bahanmaka hasil produk tidak akan jadi ceramah Proyektor, laptop dan ulos 5 menit  
TIK Peserta pelatihan akan dapat mempersiapkan bahan minimal 80% benar ceramah Proyektor, laptop dan ulos 2 menit  
TAHAP PENYAJIAN  
Uraian Melaksanakan kegiatan menyiapkan bahan Ceramah bervariasi,Tanya jawab dan demonstrasi Proyektor, laptop dan ulos 20 menit  
Contoh dan noncontoh Menunjukkan contoh macam-macam bahan Ceramah bervariasi dengan Tanya jawab Proyektor, laptop dan ulos 15 menit  
Latihan  
Rangkuman  
Glosarium  
TAHAP PENUTUP  
Umpan balik Mengidentifikasi kesulitan yang masih dirasakan peserta pelatihan sehubungan dengan persiapan bahan Diskusi dan Tanya jawab Proyektor, laptop dan ulos 15 menit  
Tindak lanjut Menjelaskan kembali tentang persiapan bahan ceramah Proyektor, laptop dan ulos 15 menit



Strategi Instruksional ke-6
TIK 6: Jika diberikan contoh suatu tenunan ulos, peserta pelatihan dapat menjelaskan secara singkat alat yang diguanakan untuk bertenun ulos tersebut dengan benar.

Urutan Kegiatan Garis Besar Isi Metode Media dan Alat Waktu Belajar  
1 2 3 4 5  
TAHAP PENDAHULUAN  
Deskripsi Singkat Pentingnya mempersiapkan alat ceramah Proyektor, laptop dan ulos 3 menit  
Relevansi Tanpa mempersiapkan alat maka hasil produk tidak akan jadi ceramah Proyektor, laptop dan ulos 5 menit  
TIK Peserta pelatihan akan dapat mempersiapkan alat minimal 80% benar ceramah Proyektor, laptop dan ulos 3 menit  
TAHAP PENYAJIAN  
Uraian Melaksanakan kegiatan menyiapkan alat Ceramah bervariasi,Tanya jawab dan demonstrasi Proyektor, laptop dan ulos 20 menit  
Contoh dan noncontoh Menunjukkan contoh macam-macam alat-alat Ceramah bervariasi dengan Tanya jawab Proyektor, laptop dan ulos 15 menit  
Latihan  
Rangkuman  
Glosarium  
TAHAP PENUTUP  
Umpan balik Mengidentifikasi kesulitan yang masih dirasakan peserta pelatihan sehubungan dengan persiapan alat Diskusi dan Tanya jawab Proyektor, laptop dan ulos 10 menit  
Tindak lanjut Menjelaskan kembali tentang persiapan alat ceramah Proyektor, laptop dan ulos 10 menit

Strategi Instruksional ke-7
TIK: Setelah didemonstrasikan pembuatan tenunan ulos, peserta pelatihan dapat mendemostrasikan secara singkat pembuatan  tenunan ulos tersebut dengan benar.

Urutan Kegiatan Garis Besar Isi Metode Media dan Alat Waktu Belajar  
1 2 3 4 5  
TAHAP PENDAHULUAN  
Deskripsi Singkat Pentingnya mendemonstrasikan pembuatan  produk ulos
ceramah Proyektor, laptop dan ulos 3menit  
Relevansi Tanpa mendemonstrasikan pembuatan  produk ulosmaka hasil produk tidak akan jadi ceramah Proyektor, laptop dan ulos 5 menit  
TIK Peserta pelatikan akan dapat mendemonstrasikan pembuatan  produk ulos minimal 80% bisa ceramah Proyektor, laptop dan ulos 3 menit  
TAHAP PENYAJIAN  
Uraian Melaksanakan kegiatan demonstrasi Ceramah bervariasi dengan Tanya jawab Proyektor, laptop dan ulos 60 menit  
Contoh dan noncontoh Menunjukkan cara membuat produk kerajinan ulos Ceramah bervariasi dengan Tanya jawab Proyektor, laptop dan ulos 60 menit  
Rangkuman  
Glosarium  
TAHAP PENUTUP  
Umpan balik Mengidentifikasi kesulitan yang masih dirasakan peserta pelatihan sehubungan dengan pembuatan produk ulos diskusi 10 menit  
Tindak lanjut Menjelaskan kembali tentang
Bagian-bagian yang sulit dari pembuatan produk ceramah 10 menit

Strategi Instruksional ke-8
TIK 8: Setelah didemosntrasikan pembuatan tenunan ulos, peserta pelatihan akan mampu bertenun ulos dengan tepat sesuai dengan motif yang telah ditentukan.

Urutan Kegiatan Garis Besar Isi Metode Media dan Alat Waktu Belajar  
1 2 3 4 5  
TAHAP PENDAHULUAN  
Deskripsi Singkat Pentingnya pembuatan  tenunan ulos
ceramah Proyektor, laptop dan ulos 3 menit  
Relevansi Tanpa pembuatan  produk ulos maka hasil produk tidak akan jadi ceramah Proyektor, laptop dan ulos 5 menit  
TIK Peserta pelatikan akan dapat bertenun ulos 80% bisa ceramah Proyektor, laptop dan ulos 3 menit  
TAHAP PENYAJIAN  
Uraian Melaksanakan kegiatan bertenun ulos Ceramah bervariasi dengan Tanya jawab Proyektor, laptop dan ulos 60 menit  
Latihan Praktek membuat produk ulos demontrasi 60 menit  
Rangkuman  
Glosarium  
TAHAP PENUTUP  
Umpan balik Mengidentifikasi kesulitan yang masih dirasakan peserta pelatihan sehubungan dengan pembuatan produk ulos diskusi 10 menit  
Tindak lanjut Menjelaskan kembali tentang
Bagian-bagian yang sulit dari pembuatan produk ceramah 10 menit


7. MENGEMBANGKAN BAHAN INSTRUKSIONAL BERTENUN ULOS

1.

PENGERTIAN ULOS


Ulos adalah kain tenun khas Batak berbentuk selendang. Benda sakral ini merupakan simbol restu, kasih sayang dan persatuan, sesuai dengan pepatah Batak yang berbunyi:
“Ijuk pangihot ni hodong, Ulos pangihot ni holong", yang artinya kira-kira "Jika ijuk adalah pengikat pelepah pada batangnya, maka ulos adalah pengikat kasih sayang antara sesama.".
Secara harfiah, ulos berarti selimut yang menghangatkan tubuh dan melindunginya dari terpaan udara dingin. Menurut kepercayaan leluhur suku Batak ada tiga sumber yang memberi panas kepada manusia, yaitu matahari, api dan ulos. Dari ketiga sumber kehangatan tersebut ulos dianggap paling nyaman dan akrab dengan kehidupan sehari-hari.
Pada awalnya nenek moyang mereka mengandalkan sinar matahari dan api sebagai tameng melawan rasa dingin. Masalah kecil timbul ketika mereka menyadari bahwa matahari tidak bisa diperintah sesuai dengan keinginan manusia. Pada siang hari awan dan mendung sering kali bersikap tidak bersahabat. Sedang pada malam hari rasa dingin semakin menjadi-jadi dan api sebagai pilihan kedua ternyata tidak begitu praktis digunakan waktu tidur karena resikonya tinggi. Al hajatu ummul ikhtira'at, karena dipaksa oleh kebutuhan yang mendesak akhirnya nenek moyang mereka berpikir keras mencari alternatif lain yang lebih praktis. Maka lahirlah ulos sebagai produk budaya asli suku Batak.
Tentunya ulos tidak langsung menjadi sakral di masa-masa awal kemunculannya. Sesuai dengan hukum alam ulos juga telah melalui proses yang cukup panjang yang memakan waktu cukup lama, sebelum akhirnya menjadi salah satu simbol adat suku Batak seperti sekarang. Berbeda dengan ulos yang disakralkan yang kita kenal, dulu ulos malah dijadikan selimut atau alas tidur oleh nenek moyang suku Batak. Tetapi ulos yang mereka gunakan kualitasnya jauh lebih tinggi, lebih tebal, lebih lembut dan dengan motif yang sangat artistik.
Kini ulos memiliki fungsi simbolik untuk berbagai hal dalam segala aspek kehidupan orang Batak. Ulos menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan adat suku Batak. Mangulosi, adalah salah satu hal yang teramat penting dalam adat Batak.
Mangulosi adalah suatu kegiatan adat yang sangat penting bagi orang batak. Dalam setiap kegiatan seperti upacara pernikahan, kelahiran, dan dukacita ulos selalu menjadi bagian adat yang selalu di ikut sertakan.Menurut pemikiran moyang orang batak, salah satu unsur yang memberikan kehidupan bagi tubuh manusia adalah “kehangatan”. Mengingat orang-orang batak dahulu memilih hidup di dataran yang tinggi sehingga memiliki temperatur yang dingin.
Demikian juga dengan huta/kampung yang ada di daerah tapanuli umumnya di kelilingi dengan pepohonan bambu. Dimana memiliki kegunaan bukan hanya sebagai pagar untuk menjaga serangan musuh saja, namun juga menahan terjangan angin yang dapat membuat tubuh menggigil kedinginan.
Ada 3 hal yang di yakini moyang orang batak yang memberi kehidupan bagi tubuh manusia, yaitu : Darah, Nafas dan Kehangatan. Sehingga “rasa hangat” menjadi suatu kebutuhan yang setiap saat di dambakan.
Ada 3 “sumber kehangatan” yang di yakini moyang orang batak yaitu : matahari, api dan ulos. Matahari terbit dan terbenam dengan sendirinya setiap saat. Api dapat di nyalakan setiap saat, namun tidak praktis untuk di gunakan menghangatkan tubuh, misalnya besarnya api harus di jaga setiap saat sehingga tidur pun terganggu. Namun tidak begitu halnya dengan Ulos yang sangat praktis digunakan di mana saja dan kapan saja.
Ulos pun menjadi barang yang penting dan di butuhkan semua orang kapan saja dan di mana saja. Hingga akhirnya karena ulos memiliki nilai yang tinggi di tengah-tengah masyarakat batak. Dibuatlah aturan penggunaan ulos yang di tuangkan dalam aturan adat, antara lain :
· Ulos hanya di berikan kepada kerabat yang di bawah kita. Misalnya Natoras tu ianakhon (orang tua kepada anak).
· Ulos yang di berikan haruslah sesuai dengan kerabat yang akan di beri ulos. Misalnya Ragihotang diberikan untuk ulos kepada hela (menantu laki-laki).
Sedangkan menurut penggunaanya antara lain :
· Siabithonon (dipakai ke tubuh menjadi baju atau sarung) digunakan ulos ragidup, sibolang, runjat, jobit dan lainnya.
· Sihadanghononhon (diletakan di bahu) di gunakan ulos Sirara, sumbat, bolean, mangiring dan lainnya.
· Sitalitalihononhon (pengikat kepala) di gunakan ulos tumtuman, mangiring, padang rusa dan lain-lain.
Saat ini kita tidak membutuhkan ulos sebagai penghangat tubuh di saat tidur ataupun saat beraktifitas, karena ada berbagai alat dan bahan yang lebih maju untuk member kehangatan bagi tubuh pada saat berada pada udara yang sangat dingin. Tetapi Ulos sudah menjadi perlambang kehangatan yang sudah mengakar di dalam budaya batak.
Namun ini juga menjadi tantangan bagi budaya batak di masa depan, karena cara pandang dan penghargaan anak-anak muda masa depan sangat berbeda dengan para orang tua yang sempat merasakan berharganya nilai ulos dalam kekerabatan. Akankah anak-anak kita memandang ulos seperti memandang “kain pada umumnya”, bahkan lebih parahnya setelah kain tersebut di gunakan dalam acara adat yang melelahkan kemudian ulos tersebut tersimpan rapat dalam lemari saja.
Sangat berbeda “rasanya” dengan dengan menggunakan setelan jas yang modis dan ingin menggunakannya lagi dan lagi begitu setiap saat. Jangan-jangan yang terbayang dalam pikiran mereka saat melihat ulos yang tergolek dalam lemari adalah acara adat yang melelahkan, njelimet adatnya, pusing karena gak tau bahasa batak, malu karena gak pinter martutur (menempatkan diri dalam pertalian darah atau keturunan).


2. JENIS ULOS DAN MAKNANYA
a. Ulos Antak-Antak



Ulos ini dipakai sebagai selendang orang tua untuk melayat orang yang meninggal, selain itu ulos tersebut juga dipakai sebagai kain yang dililit pada waktu acara manortor (menari).

b. Ulos Bintang Maratur


Ulos ini merupakan Ulos yang paling banyak kegunaannya di dalam acara-acara adat Batak Toba yakni:
Kepada anak yang memasuki rumah baru. Keberhasilan membangun atau memiliki rumah baru di anggap sebagai salah satu bentuk keberhasilan atau prestasi tersendiri yang tak ternilai harganya. Tingginya penghargaan kepada orang yang telah berhasil membangun dan memiliki rumah baru adalah karena keberhasilan tersebut dianggap sebagai suatu berkat dari Tuhan yang maha Esa yang disertai dengan adanya usaha dan kerja keras yang bersangkutan di dalam menjalani kehidupan.
Orang batak yang tinggal dan menetap di berbagai puak/horja di sekitar Tapanuli telah memiliki adat dan kebiasaan yang berbeda pula. Walaupun konsep dan pemahaman tentang adat itu secara umum adalah sama, namun pada hal-hal tertentu ada kalanya memiliki perbedaan dalam hal pemaknaan terhadap nilai dan konsep adat yang ada sejak turun-temurun. Oleh karena itu pemberian Ulos Bintang Maratur khusus di daerah Silindung di berikan kepada orang yang sedang bergembira dalam hal ini sewaktu menempati atau meresmikan rumah baru.
Secara khusus di daerah Toba Ulos ini diberikan waktu acara selamatan Hamil 7 Bulan yang diberikan oleh pihak hula-hula kepada anaknya. Ulos ini juga diberikan kepada Pahompu (cucu) yang baru lahir sebagai Parompa (gendongan) yang memiliki arti dan makna agar anak yang baru lahir itu di iringi kelahiran anak yang  selanjutnya, kemudian ulos ini juga di berikan untuk pahompu (cucu) yang baru mendapat babtisan di gereja dan juga bisa di pakai sebagai selendang.
c. Ulos Bolean





Ulos ini biasanya di pakai sebagai selendang pada acara-acara kedukaan.







d.

Ulos Mangiring

Ulos ini dipakai sebagai selendang, tali-tali, juga Ulos ini diberikan kepada anak cucu yang baru lahir terutama anak pertama yang memiliki maksud dan tujuan sekaligus sebagai Simbol besarnya keinginan agar si anak yang lahir baru kelak diiringi kelahiran anak yang seterusnya, Ulos ini juga dapat dipergunakan sebagai Parompa (alat gendong) untuk anak.


e. Ulos Padang Ursa dan Ulos Pinan Lobu-lobu



Di pakai sebagai Tali-tali dan Selendang.





f.   Ulos Pinuncaan


Ulos ini terdiri dari lima bagian yang ditenun secara terpisah yang kemudian disatukan dengan rapi hingga menjadi bentuk satu ulos. Kegunaannya antara lain:
1.    Di pakai dalam berbagai keperluan acara-acara duka cita maupun suka cita, dalam   acara adat ulos ini dipakai/ di sandang oleh Raja-Raja Adat.
2.   Di pakai oleh Rakyat Biasa selama memenuhi beberapa pedoman misalnya, pada pesta perkawinan atau upacara adat di pakai oleh suhut sihabolonon/ Hasuhuton (tuan rumah).
3.    Kemudian pada waktu pesta besar dalam acara marpaniaran (kelompok istri dari golongan hula-hula), ulos ini juga di pakai/ di lilit sebagai kain/ hohop-hohop oleh keluarga hasuhuton (tuan rumah).
4.    Ulos ini juga berfungsi sebagai Ulos Passamot pada acara Perkawinan. Ulos Passamot di berikan oleh Orang tua pengantin perempuan (Hula-hula) kepada ke dua orang tua pengantin dari pihak laki-laki (pangoli). Sebagai pertanda bahwa mereka telah sah menjadi saudara dekat.

g. Ulos Ragi Hotang



Ulos ini di berikan kepada sepasang pengantin yang sedang melaksanakan pesta adat yang di sebut dengan nama Ulos Hela. Pemberian ulos Hela memiliki makna bahwa orang tua pengantin perempuan telah menyetujui putrinya di persunting atau diperistri oleh laki-laki yang telah di sebut sebagai “Hela” (menantu).
Pemberian ulos ini selalu di sertai dengan memberikan mandar Hela (Sarung Menantu) yang menunjukkan bahwa laki-laki tersebut tidak boleh lagi berperilaku layaknya seorang laki-laki lajang tetapi harus berperilaku sebagai orang tua. Dan sarung tersebut di pakai dan di bawa untuk kegiatan-kegiatan adat.
h.  Ulos Ragi Huting


Ulos ini sekarang sudah Jarang di pakai, konon pada jaman dulu sebelum Indonesia merdeka, anak perempuan (gadis-gadis) memakai Ulos Ragi Huting ini sebagai pakaian sehari-hari yang dililitkan di dada (Hoba-hoba) yang menunjukkan bahwa yang bersangkutan adalah seorang putri (gadis perawan) batak Toba yang ber-adat.






i. Ulos Sibolang Rasta Pamontari


Ulos ini di pakai untuk keperluan duka dan suka cita, tetapi pada jaman sekarang, Ulos Sibolang bisa dikatakan sebagai simbol duka cita, yang di pakai sebagai Ulos Saput (orang dewasa yang meninggal tapi belum punya cucu) dan di pakai juga sebagai Ulos Tujung untuk Janda dan Duda dengan kata lain kepada laki-laki yang ditinggal mati oleh istri dan kepada perempuan yang di tinggal mati oleh suaminya. Apabila pada peristiwa duka cita Ulos ini dipergunakan maka hal itu menunjukkan bahwa yang bersangkutan adalah sebagai keluarga dekat dari orang yang meninggal.

j.

Ulos Si bunga Umbasang dan Ulos Simpar
Secara umum ulos ini hanya berfungsi dan di pakai sebagai Selendang bagi para ibu-ibu sewaktu mengikuti pelaksanaan segala jenis acara adat-istiadat yang kehadirannya sebatas undangan biasa yang di sebut sebagai Panoropi (yang meramaikan) .
k.

 Ulos Sitolu Tuho

Ulos ini di fungsikan atau di pakai sebagai ikat kepala atau selendang.






l. Ulos Suri-suri Ganjang


Ulos ini di pakai sebagai Hande-hande (selendang) pada waktu margondang (menari dengan alunanan musik Batak) dan juga di pergunakan oleh pihak Hula-hula (orang tua dari pihak istri) untuk manggabei (memberikan berkat) kepada pihak borunya (keturunannya) karena itu disebut juga Ulos gabe-gabe (berkat).






m. Ulos Simarinjam sisi



Di pakai dan difungsikan sebagai kain dan juga di lengkapi dengan Ulos Pinunca yang di sandang dengan perlengkapan adat Batak sebagai Panjoloani (mendahului di depan). Yang memakai ulos ini adalah satu orang yang berada paling depan.



n. Ulos Ragi Pakko dan Ulos Harangan


Pada zaman dahulu di pakai sebagai selimut bagi keluarga yang berasal dari golongan keluarga kaya,  dan itu jugalah apabila nanti setelah tua dan meninggal akan di saput (di selimutkan, dibentangkan kepada jasad) dengan ulos yang pakai Ragi di tambah Ulos lainnya yang di sebut Ragi Pakko  karena memang warnanya hitam seperti Pakko.

o.

Ulos Tumtuman

Dipakai sebagai tali-tali yang bermotif dan di pakai oleh anak yang menunjukkan bahwa yang bersangkutan adalah anak pertama dari hasuhutan (tuan rumah).






p.

Ulos Tutur-Tutur.
Ulos ini dipakai sebagai tali-tali (ikat kepala) dan sebagai Hande-hande (selendang) yang diberikan oleh orang tua kepada anak-anaknya (keturunannya









3. BAHAN DAN ALAT BERTENUN
A. BAHAN
Bahan dasar ulos dahulu pada umumnya sama yaitu sejenis benang yang dipintal dari kapas. Belakangan benang sudah tersedia tanpa harus melalui proses pemintalan. Yang membedakan setiap ulos adalah proses pembuatannya dan menjadi ukuran dalam penentuan nilai sebuah ulos.

B. ALAT
1) BUSUR HAPAS : Dibuat dari bambu berbentuk busur panah (Sumbia) Digunakan untuk membusur kapas, mengembangkan dalam kondisi merata agar mudah dijadikan benang dengan sorha.
2) SORHA TANGAN : Bahan terbuat dari kayu, papan dan besi (Kawat). Digunakan untuk memintal benang dari kapas. Roda pemintal degerakkan dengan tangan.

3) SORHA PAT (1) : Bahan dari kayu, papan dan besi digunakan untuk memintal’ benang dari kapas, Roda pemintal digerakkan dengan kaki. Dipakai pada jaman pendudukan Tentara Jepang di Tapanuli.
4) SORHA PAT (2) : Motif lain dari Sorha. Banyak digunakan pada jaman pendudukan tentara Jepang di Tapanuli Utara (Tanah Batak).
5) ERDENG-ERDENG (PANGHULHULAN) : Bahan dari kayu, pakko dan bambu. Digunakan untuk menggulung (mangkulhul) benang agar mudah digerakkan waktu menyusun dianian.
6) PANGUNGGASAN : Dibuat dari bambu, fungsinya untuk menegangkan memadatkan benang. Diolesi dengan campuran air tajin dan nasi lembek.
7) UNGGAS : Bahan- terbuat dari ijuk digunakan untuk mengoleskan kanji (air tajin dan. nasi lembek) untuk menegangkan benang.
8) GONGGONAN : Hudon tano besar dipakai untuk tempat mencelup benang.
9) SOSA : Alat membuat gatip-gatip pada motif ulos. Bahan terdiri dari Seak-seak (tempurung kelapa) bahan pewarna dan bulu ayam.
10) ANIAN : Bahan dari kayu jion dan pakko, digunakan untuk merakit benang sebelum ditenun.
11) TUNDALAN (PAMUNGGUNG) : Bahan dari kayu nangka dipakai untuk sandaran pinggul waktu bertenun.
12) TALI PAPAUT : Bahan dari tali ijuk dipakai waktu bertenun, fungsinya untuk menghubungkan panunggung de-ngan Pagabe.
13) PAGABE : Bahannya dari pakko, digunakan menjepit benang tenun sekaligus pemegang benang.
14) BALIGA : Bahan dari pelepah daun enau (hodong) digunakan untuk memapatkan benang tenunan.
15) TURAK : Bahannya dibuat dari bambu dipakai untuk menghantar benang sirat kain tenunan.
16) HASOLI : Dibuat dari lidi, digunakan untuk gulungan benang sirat didalam turak.
17) SOKKAR : Bahannya dari kulit hodong (ruyung) kedua ujungnya dibuat runcing, digunakan untuk menegangkan benang guna mengatur pola tenunan.
18) HATULUNGAN : Bahan dari kayu, digunakan untuk pemisah benang tenun, mengatur pola dan baris-baris benang.
19) HAPULOTAN : Bahan dari kayu, fungsinya untuk mengatur benang tenun supaya tidak simpang siur.
20) BALOBAS : Bahannya dari ruyung, digunakan untuk merapikan benang yang akan ditenun.
21) LILI : Dibuat dari ruyung, digunakan untuk mengatur corak warna kain tenunan.
22) PAMAPAN : Bahannya dari ruyung, digunakan untuk gantyungan benang yang ditenun.
23) SITADOAN : Bahan dari kayu, digunakan untuk landasan kaki waktu bertenun.
24) BALIGA SIRAT : Bahan dibuat dari pakko, digunakan untuk merapatkan (memapatkan) benang pada ujung kain ulos yang telah siap ditenun bersisikan rambu.
25) SOSA : Bahan terdiri dari beberapa helai bulu ayam, dipakai membasahi benang tenun agar hasilnya lebih rapat dan padat.
26) SEAK-SEAK SOSA : Bahan dari tempurung kelapa dipakai tempat air sosa ( air biasa ).

4. PROSES BERTENUN ULOS
Bagi awam dirasa sangat unik. Bahan dasar ulos pada umumnya adalah sama yaitu sejenis benang yang dipintal dari kapas. Yang membedakan sebuah ulos adalah proses pembuatannya. Ini merupakan ukuran penentuan nilai sebuah ulos. misalnya bagi anak dara, yang sedang Helajar bertenun hanya diperkenankan membuat ulos “parompa” Ini disebut “mallage” (ulos yang dipakai untuk menggendong anak). Tingkatan ini diukur dari jumlah lidi yang dipakai untuk memberi warna motif yang diinginkan. Tingkatan yang tinggi ialah bila dia telah mampu mempergunakan tujuh buah lidi atau disebut “marsipitu lili”. Yang bersangkutan telah dianggap cukup mampu bertenun segala jenis ulos Batak.
a) Proses Pembuatan ulos batak yang sering dilakukan di komunitas ulos batak yaitu: Pembuatan benang : Proses pemintalan kapas sudah dikenal masyarakat batak dulu yang disebut “mamipis” dengan alat yang dinamai “sorha”.
b) Pewarnaan : Bahan pewarna ulos terbuat dari bahan daundaunan berbagai jenis yang dipermentasi sehingga menjadi warna yang dikehendaki.
c) Gatip : Rangkaian grafis yang ditemukan dalam ulos diciptakan pada saat benang diuntai dengan ukuran standard.
d) Unggas : Unggas adalah proses pencerahan benang.
e) Ani : Benang yang sudah selesai diunggas selanjutnya memasuki proses penguntaian yang disebut “mangani”.
f) Tonun : Tonun (tenun) adalah proses pembentukan benang yang sudah “diani” menjadi sehelai ulos.
g) Sirat : Sirat adalah hiasan pengikat rambu ulos. “Manirat” merupakan proses terakhir untuk menjadikan ulos yang utuh.
Cara untuk membuat ulos, seperti yang dikenal dalam teknik ikat lungsi : 1. Terlebih dahulu benang dikeraskan memakai sejenis lem/ perekat dengan menggunakan alat yang dinamakan unggas dan pengunggasan, 2. Sesudah selesai diunggas, kemudian benang dikeringkan, lalu digulung dengan alat penghulhulan dengan cara memutar. Proses selanjutnya ialah bertenun (martonun), yakni dengan cara memasukkan benang ke dalam alat tenun yang terbuat dari kayu.
Adapun bagian-bagian dari alat tenun adalah : hasoli (gulungan benang pada sebatang lidi sepanjang kira-kira 30 cm), turak (alat untuk memasukkan benang dari celah-celah benang yang ditenun, terbuat dari potongan bambu kecil menyerupai seruling yang ke dalamnya dimasukkan hasoli), hatudungan (alat untuk menggendorkan tenunan agar turak bisa dimasukkan), baliga (alat untuk merapatkan benang yang telah dimasukkan dengan cara menekan sampai beberapa kali, terbuat dari batang enau yang telah dihaluskan), dan pamunggung alat yang berbentuk busur panah, pada sisi kanan dan kiri terdapat tali untuk ditarik-tarik saat menenun. Bagian-bagian dari alat tenun itu merupakan satu kesatuan (unit) yang tidak bisa dipisah-pisahkan satu sama lain selama proses menenun (Sitanggang,1990:52--53).
Selembar ulos membutuhkan banyak benang dengan aneka warna, yang nantinya masing-masing benang telah digulung dalam hasoli. Hasoli-hasoli itulah yang kemudian masuk didalam turak kemudian turak keluar masuk diantara benang - benang yang sudah direntangkan sebagai bakal ulos. Begitu terus-menerus proses mengerjakan ulos hingga rentangan benang-benang itu sedikit demi sedikit berubah menjadi kain. Selama masa bertenun tubuh si partonun terikat dengan peralatan tenun, sehingga tidak dapat bergerak dengan leluasa. Biasanya alat-alat tenun itu akan dilepaskan kalau si partonun hendak istirahat atau mau melakukan pekerjaan yang lain. Ketekunan seorang partonun menentukan lama-tidaknya sebuah ulos selesai dibuat. Biasanya butuh tiga - enam pekan untuk menyelesaikan Ulos Ragi Hidup sepanjang tiga meter.

BAB IV
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil desain yang telah diuraikan pada bab III, maka dapat disimpulkan bahwa:
1. Pelatihan bertenun olos layak dikembangkan sebagai mata pencaharian bagi kaum ibu rumah tangga yang tidak bekerja pada umumnya.

2. Dari hasil analisis para ibu rumah tangga sudah mengerti mengenai bertenun ulos tetapi cara bertenun belum semua mengetahui.

B. SARAN
1. Kemampuan bertenun ulos perlu ditingkatkan lagi. Hal itu dapat dilakukan dengan merujuk penyebab rendahnya kemampuan dalam bertenun ulos.

2. Pihak pemerintah sudah sewajarnya mengembangkan pelatihan ini, di samping mengembangkan kreativitas para warga dan bisa sebagai investasi.





DOKUMENTASI




































DAFTAR PUSTAKA


Dick ‘ W., & Carey, 2005. The Systemafic Design Of Instruction. Glenview Illionois. Scott, Forestman and Company

http://begawanafif.blogspot.com/2009/02/analisis-instruksional.html. Diakses tanggal 20 Februari 2014.

http://iwanuwg.files.wordpress.com/2009/08/renc-pembelajaran-dppw22.pdf. Diakses tanggal 20 Februari 2014.

http://ulosbatakornamen.blogspot.com/2011/08/ulos-batak-toba.html. Diakses tanggal 20 Mei 2014

Sinaga, Richard, 1999. Meninggal Adat Dalihan Natolu. Jakarta: Dian Utama

Sitanggang, Hilderia, 1990. Isi dan kelengkapan rumah tangga tradisional menurut tujuan, fungsi dan kegunaan suku bangsa Batak Toba, Daerah Tapanuli Utara, Sumatera Utara. Jakarta: Direktorat Sejarah Dan Nilai Tradisional

Suparman, Atwi, 2012. Desain Intruksional. Jakarta: PAU dan DIKTI DIKB’D